Mesin Pembunuh Itu Bernama UNAS

Pada sebuah pagi, seorang anak lelaki kecil pulang terburu-buru dari sekolahnya. Tangannya yang lucu menenteng sepucuk surat dari gurunya. Sesampai di rumah, ia segera menghampiri ibunya seraya berseru : “Mama... mama, ada surat dari bapak guru.”
Sang ibu, Nancy Elliot, menyambut anak bungsu dari tujuh bersaudara ini dengan ciuman dan pelukan penuh kasih sayang. Ia ambil pucuk surat dari tangan bocah lucu itu. Dengan sedikit tergesa, dibukanya amplop surat tersebut.
Tangan Nancy tiba-tiba bergetar saat matanya mulai membaca kata demi kata dalam surat dari guru anaknya.
"Anak ini terlalu bodoh untuk dididik. Kami mengembalikannya kepada Anda. Mulai besok tidak perlu datang ke sekolah lagi."
Air mata Nancy mulai meleleh setelah membaca kalimat tersebut. Hancur hatinya membaca ‘amar putusan’ guru anaknya. Bagaimana mungkin, anak yang baru berusia 7 tahun, dan baru duduk di bangku sekolah selama 3 bulan, bisa mendapat keputusan sedahsyat itu ? Ia sangat kecewa dengan keputusan itu.
“Mengapa mama menangis ?” tanya si bocah tak paham.
Dengan mata berlinang air mata, si ibu meraih dan memeluk tubuh kecil itu. Dengan suara serak, dibisikkan kalimat ke telinga anaknya,
“Thomas, I educated you my self.”
Semenjak hari ‘naas’ itu, Thomas tak pernah lagi menginjakkan kaki di sekolah. Ibunya, yang kebetulan mantan guru, mengajarinya membaca dan berhitung. Dengan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa, akhirnya Nancy mampu membuat Thomas bisa membaca dan berhitung dengan baik. Bahkan dari sistem pengajaran yang dikembangkan Nancy, Thomas tumbuh menjadi anak genius.
Thomas, yang diberi stigma ‘terlalu bodoh’ dan didrop-out dari sekolahnya itu, kemudian hari mampu menancapkan namanya dalam jajaran nama-nama ilmuwan yang paling terkemuka di muka bumi ini. Konon, tidak kurang dari 3000 penemuan tercatat atas namanya. Anak ‘yang terlalu bodoh’ itu adalah Thomas Alva Edison.
Dari ilustrasi di atas tampak bahwa sekolah Thomas tak mampu melihat bakat genius Thomas. Yang terlihat malah sebaliknya, Thomas adalah anak yang ‘terlalu bodoh’. Bisa jadi Nancy akan menyesal jika saja Thomas tidak di-DO dari sekolahnya. Anak seberbakat Thomas tak cocok dididik di sekolah ‘biasa’ yang menganggap semua muridnya memiliki kemampuan sama.
Dalam macam yang sedikit berbeda, nasib buruk seperti dialami Thomas, juga dialami oleh beberapa murid di negeri ini. Di tahun-tahun kemarin, banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Sebut saja Siti Hapsah. Pada 2006, mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
Padahal, sebelum ujian, ia sudah dinyatakan lolos seleksi sebagai mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Siti selalu menduduki peringkat satu atau juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur. Bahkan ada seorang murid dari SMA PSKD 7 Jakarta yang, namanya Melati, harus rela ‘membuang’ bea siswa dari luar negeri gara-gara tak lulus ujian nasional. ( diambil dari VIVAnews edisi 27 November 2009 ). Dan berita serupa masih banyak.
Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari dan hanya menguji beberapa mata pelajaran saja tidak mungkin mampu menilai kemampuan murid secara memadai. Prestasi murid yang dibina selama 3 tahun dibantai melalui Unas hanya selama beberapa hari saja. Apakah ini bukan pelecehan HAM oleh pemerintah terhadap penduduknya ?
Sebagai masyarakat, tentu kita patut bersyukur saat MA menolak kasasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Unas. Putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional. Namun sayangnya, meski ada putusan MA di atas, pemerintah tetap ngotot akan mengadakan Unas untuk tahun 2010 ini.
Alasan yang digunakan pemerintah untuk tetap mengadakan unas adalah karena dapat digunakan untuk menentukan kelulusan, memetakan mutu pendidikan nasional dan seleksi masuk PTN. Barangkali alasan unas sebagai instrumen penentuan kelulusan murid telah banyak diprotes. Pertama, adalah tidak adil menilai prestasi murid selama 3 tahun hanya dalam waktu beberapa hari. Apalagi jika yang di-unas-kan hanya beberapa mata pelajaran saja. Apakah alat yang bernama unas itu cukup valid dan reliable sebagai alat ukur penentuan kelulusan murid ? Dan semakin aneh jika unas ini digunakan untuk menentukan kelulusan murid SMK. Bukankah SMK bertujuan mendidik murid untuk terampil dalam bidang pekerjaan tertentu ? Bagaimana mungkin pendidikan yang bertujuan mendidik untuk terampil tapi yang diuji sisi kognitifnya, apalagi materi ujiannya tidak sama dengan keterampilan yang diajarkan ?
Mengenai alasan unas sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, timbul pertanyaan, setelah dipetakan, sekolah-sekolah itu
mau diapakan ? Kalau setelah dipetakan, pemerintah punya tanggung-jawab membenahi sekolah-sekolah yang punya grade rendah, tentu baik-baik saja. Masyarakat pasti akan mendukung. Tapi kalo sekedar memberi label, misalnya sekolah A adalah kelompok muridnya pintar-pintar, sekolah B termasuk muridnya tidak terlalu pintar, dan sekolah D adalah sekolahnya anak bodoh, maka penistaan pemerintah terhadap murid-murid sungguh keterlaluan. Ini patut dilawan.
Sebagai alat seleksi masuk PTN ? Tentu bukan hal yang mudah. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pelaksanaan unas sering diwarnai oleh kecurangan-kecurangan. Hal ini telah terjadi bertahun-tahun. Hingga tahun kemarin pemerintah belum mampu mengatasinya. Kalau dipaksakan sebagai alat seleksi masuk PTN, pasti akan menimbulkan permasalahan-permasalah kebocoran yang lebih akut.

Tujuan Pendidikan adalah Mencerdaskan
Jika tujuan pendidikan adalah mencerdaskan, maka pendidikan haruslah mampu menggali seluruh potensi murid untuk dikembangkan. Hal ini supaya segenap kecerdasan yang dimiliki murid bisa ditumbuhkan secara optimal. Dengan adanya unas, maka segenap daya dan usaha sekolah dan murid hanyalah terfokus pada mengembangkan sisi kognitif, dan itu pun hanya untuk beberapa mata pelajaran saja.
Di banyak sekolah, untuk murid-murid kelas tiga hanya diberi pelajaran-pelajaran yang di-unas-kan saja. Pelajaran non unas diberikan asal-asalan. Begitu juga dengan muridnya. Waktu, tenaga dan dana yang mereka miliki hanya untuk mempelajari pelajaran-pelajaran unas. Pelajaran lain, mereka abaikan. Alasanya, tidak mempengaruhi kelulusan.
Bukankah dengan begitu berarti adanya unas telah mengorbankan ( membunuh ) kecerdasan lain yang dimiliki murid ? Padahal kecerdasan lain itu sangat berguna untuk hidup di masyarakat. Justru, kecerdasan yang diukur oleh unas nyaris tidak ada gunanya di dunia kerja mau pun masyarakat umum. Coba saja, mana ada perusahaan yang menerima pekerja dengan melihat nilai unas dari calon pekerja tersebut. Demikian juga untuk hidup di masyarakat, pelajaran-pelajaran yg di-unas-kan sangat kecil relevansinya.
Jadi, kita patut heran, mengapa pemerintah terus ngotot mengadakan unas ?
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengemukakan apa yang disampaikan oleh sosiolog Imam Prasodjo di dalah satu TV swasta. Kira-kira begini singkatnya :”Sebelum pemerintah melakukan standardisasi pada murid-murid, harusnya melakukan standardisasi terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pemerintah harus melengkapi fasilitas-fasilitas yang kurang standard di sekolah-sekolah. Jika belum mampu melakukan upaya melengkapi fasilitas pendidikan yang ada hingga mencapai standard, maka tidak selayaknya pemerintah melakukan standardisasi pada murid-murid.”
Dan jika belum mampu menstandardkan fasilitas pendidikan dan masih ngotot menstandardisasikan murid-murid, maka pengambil kebijakan yang ngotot tetap melaksanakan unas ini harus distandardkan dulu otaknya. Jangan-jangan mereka ini gradenya sebagai pengambil kebijakan memang di bawah standard.
artikel ini diambil dari facebook**

Tidak ada komentar: