Menjadi Manusia Pembelajar (Man of Learner)

Kalau kita menyimak dan memperhatikan perjalanan sejarah umat manusia, kita dapat menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar (man of learner). Buktinya, dalam banyak hal dan banyak bidang, pemahaman, pengertian dan penguasaan manusia tentang sesuatu obyek semakin baik dan sempurna. Itu artinya, seorang manusia atau sekelompok manusia dapat belajar dari generasi ke generasi, menerima transfer pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, tetapi kemudian sekaligus mampu mengoreksi dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang baru.
Nah, pada konteks inilah saya ingin memulai membahas tentang manusia pembelajar ini. Hal ini penting karena banyak pandangan telah keliru memahami hakekat belajar yang sesungguhnya.
Menurut memat saya, hakekat belajar memuat dua pola pembelajaran. Artinya hendaknya dalam proses belajar, kita memerlukan dan memperhatikan 2 jenis mata belajar. Jenis yang pertama, saya sebut sebagai belajar memahami, mengerti, menghayati sekaligus akhirnya menguasai suatu subyek pengetahuan atau keterampilan tertentu. Kedua, adalah jenis pembelajaran yang saya sebut dengan belajar bagaimana belajar (learn how to learn) atau boleh juga disebut dengan teknologi pembelajaran. Tujuan mempelajari teknologi pembelajaran ini adalah untuk menunjang jenis pembelajaran yang pertama sehingga dapat berlangsung dengan lebih tepat, cepat, efisien, dan mudah.
Apa yang kita pelajari dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan bidang-bidang ilmu yang makin terspesialisasi, adalah contoh-contoh dari pembelajaran jenis yang pertama itu. Cilakanya, porsi terbesar dari sistem pendidikan kita, dan banyak sistem pendidikan di negara-negara lain, khususnya dunia ketiga, pada saat ini adalah pembelajaran jenis yang pertama ini.
Paradigma yang dipergunakan adalah bila Anda tidak menguasai salah satu dari sekian banyak bidang-bidang ilmu/keterampilan yang makin terspesialisasi ini, jangan harap Anda dapat diterima, eksis, atau bahkan dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena penguasan salah satu disiplin ilmu ini menjadi syarat bagi, misalnya di dunia kerja, tidak peduli meskipun apakah kemudian yang menjadi pekerjaannya nanti sesuai dengan disiplin ilmunya atau tidak, terampil atau tidak. Yang penting punya ilmu yang dibuktikan dalam selembar kertas ijasah. Pembelajaran jenis pertama ini pada dasarnya adalah untuk mengisi kebutuhan dunia usaha/industri. Ini yang menjadi sebab banyak orang-orang sukses di dunia bisnis bukanlah mereka yang bergelar atau berpendidikan tinggi. Tetapi, justru orang-orang ”sekolahan” ini yang ”mengabdi” pada orang-orang ”sukses” yang tidak berpendidikan tinggi, tapi mereka kreatif, berani dan tidak terbebani oleh penjara pikiran dari pengetahuan yang diperolehnya di sekolah.
Untuk menjalankan paradigma atau pembelajaran jenis yang pertama ini, sebenarnya sangat mudah dan tidak perlu berpikir terlalu keras. Sebab suatu bangsa tidak perlu susah-susah melakukan riset, mengembangkan ilmu-ilmu baru, dan seterusnya karena ilmu-ilmu itu atau buku-buku yang diperlukan untuk menunjang jenis pembelajaran pertama ini relatif sudah tersedia dengan melimpah. Dan kita dengan mudah dapat mengimpornya dari luar negeri atau paling jauh menerjemahkan atau menulis ulang buku-buku karya pakar-pakar luar negeri.
Kemampuan tertinggi dari pembelajaran jenis pertama ini adalah diperolehnya kemampuan menjelaskan teori-teori yang dipelajarinya itu dengan sempurna, tanpa cela, persis seperti penciptanya. Itu saja dan tidak lebih. Tentu dengan perkecualian terhadap ilmu-ilmu rekayasa (engineering science), namun meski demikian, jumlahnya amat minim.
Pada dasarnya, pola pembelajaran jenis pertama ini tidak akan serta merta menjadi sebab berkembangnya ilmu-ilmu baru. Penyebab lahirnya ilmu-ilmu baru berada di luar jenis pembelajaran pertama ini. Pandangan ini jarang sekali dibahas atau dibicarakan oleh kebanyakan orang, bahkan para pakar sekalipun. Itu sebab kita sering berputar-putar pada persoalan-persoalan yang sama dan cenderung bertambah ruwet.
Akhirnya kita menghadap akibat atau dampat dari pola pembelajaran jenis ini ternyata cukup luas, dengan gambaran sebagai berikut :
1. Tidak jarang kita menjumpai 2 orang/kelompok atau lebih, dengan dasar teori yang sama, ternyata saling serang dan berselisih paham.
2. Kita cenderung tidak menjadi orang yang produktif karena kita sibuk ”belajar” ilmu-ilmu ciptaan orang lain, lupa mengembangkan ilmu sendiri.
3. Dalam iklim kompetitif, kita lebih cenderung untuk ”merebut” dan ”bersaing” (red ocean strategy) daripada berkreasi dan mengembangkan alternatif atau mengembangkan sesuatu yang baru (blue ocean strategy).
4. Terjebak pada cara berpikir menang-kalah (win-lose), sebagai pengaruh dari paradigma survival of the fittest dari teori evolusi Charles Darwin, dan dialektika materialism Marx, Engel dan Feurbach, ketimbang berpikir menang-menang (win-win).
5. Pada akhirnya banyak ilmuwan kita malas berpikir dan bekarya, malas menulis buku, apalagi melakukan riset.
6. Banyak ilmu-ilmu ”impor” yang tidak applicable atau diterapkan tanpa disesuaikan dengan kondisi negeri sendiri, sehingga Indonesia makin tergantung pada prinsipal (pemilik teknologi atau pemegang paten) di luar negeri.
7. Pemerintah pada akhirnya dengan berdalih anggaran, enggan membiayai program-program riset dan pengembangan ilmu. Pemerintah sepertinya lebih percaya ”produk” ilmu-ilmu karya pakar-pakar luar negeri (apalagi yang berbau barat), daripada karya anak bangsa sendiri.
8. Timbul budaya pikiran baru hasil dari budaya instan, yakni ”Ngapain susah-susah mikir, biar saja orang lain (baca: bangsa lain) yang mikir, kita tinggal beli produknya, bukunya, atau sekolahkan ke luar negeri, lalu kita tinggal pakai, beres deh!”
9. Ujungnya adalah kita jadi bangsa yang tidak produktif, tidak kreatif, dan tidak inovatif dalam segala bidang. Meminjam istilah (sindiran) Cak Nur (Dr. Nurcholis Madjid, Alm.) yang disampaikan pada saat diskusi di Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI) Surabaya pada 1991 (yang kebetulan penulis pada saat itu adalah Ketua Umumnya), bahwa bangsa Indonesia pada pada saat ini adalah bangsa yang ’simple minded nation’ (bangsa yang berpikirnya sederhana), dan cenderung ”konsumtif” terhadap ilmu-ilmu karya ilmuwan-ilmuwan luar negeri (barat). Lebih lanjut Cak Nur mengatakan bahwa apabila kita ingin Indonesia menjadi bangsa yang produktif (dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi), kita harus memiliki energi yang besar mendorong potensi sumber daya manusia menjadi manusia-manusia yang berkualitas, cerdas dan kreatif. Caranya? Cak Nur bilang kembangkan budaya membaca.
10. Dan banyak lagi daftar konsekuensi yang bisa Anda tambahkan disini.

Itulah potret kita hari ini. Kalau disimpulkan dalam perspektif negatif, kita sebenarnya sedang menjalani sebuah proses pengerdilan dan pembodohan besar-besaran agar kita tidak mampu menjadi bangsa yang produktif dan mandiri dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pada akhirnya kita hanya boleh menjadi bangsa coeli di negeri sendiri. Anda mau?
Itulah penting dan perlunya kita belajar pola pembelajaran jenis yang kedua. Kita akan bahas jenis pembelajaran kedua ini pada diskusi yang akan datang. Yang jelas, Anda semua pasti tidak ingin bangsa kita menjadi bangsa yang bodoh dan dapat dibodohi oleh bangsa lain. Kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, insya Allah. Ini bukan basa-basi. Persoalannya terletak pada bagaimana citra diri bangsa yang besar ini tertanam dalam sanubari kita, dan melandasi semangat dan motivasi untuk mewujudkannya.
Bangsa kita sudah membuktikan bahwa kita bisa bikin pesawat terbang dengan tokohnya BJ Habibie. Di dunia auronotik ini, kita akan menjumpai Formula, Konstanta dan Postulat Habibie. Kita juga punya ahli chip analog, Dr. Sutahat, yang juga CEO Marvel Inc, produsen chip yang chipnya tertanam dalam jutaan ponsel di seluruh dunia. Kita juga mempunyai bibit-bibit unggul yang sangat potensial di bidang science yang menjadi jawara-jawara di olimpiade-olimpiade science internasional.
Kalau diberi atau ada kesempatan, sebenarnya kita mampu. Karena itu, kita harus optimis bahwa sekalipun kita masih berada di tengah keterpurukan pasca reformasi, bahkan carut marut bangsa kita belakangan ini yang cukup memprihatinkan, kebangkitan bangsa kita pasti masih bisa diwujudkan! Kita harus belajar mengambil hikmah dari apa yang terjadi pada bangsa kita saat ini. Kemudian tatap masa depan, dan berbuatlah yang terbaik untuk bangsa kita.
Bagaimana menurut Anda?

Artikel ini ditulis Oleh Bagus Teruno Legowo **

Tidak ada komentar: