Antropologi Jender dan Asal-usul Ketidaksetaraan Jender (1)


Antropologi Jender dan Asal-usul Ketidaksetaraan Jender
Ditulis oleh: Zelly Ariane

PENGANTAR
1. Mengapa kaum perempuan masih dianggap sebagai warga negara kelas dua?
2. Mengapa mereka terpaksa harus memilih antara menjadi ibu yang “baik” atau menjadi
wanita (pemburu) karir yang “hanya mementingkan diri sendiri”?
3. Mengapa kapasitas untuk melahirkan anak membatasi pilihan yang tersedia bagi kaum
perempuan, sementara kapasitas untuk menghasilkan anak tak membatasi kaum lelaki? 4. Mengapa keluarga merupakan isu yang begitu penting dalam politik neoliberal?
5. Mengapa distribusi ekonomi dan kekuasaan sosial begitu tak setaranya di antara
kaum lelaki dengan kaum perempuan?
(Pat Brewer, the Dispossession of Women, 2000)

Memahami Asal-usul Penindasan terhadap Perempuan
Reproduksi dan produksi kebutuhan hidup adalah penentu gerak sejarah manusia. Sejarah membenarkan bahwa kaum perempuan memiliki peran penting dalam reproduksi dan produksi. Namun, di dalam perkembangannya, mereka malah menjadi manusia yang paling disingkirkan dan didiskriminasi dari produksi, bahkan tak mengenal hak-hak reproduksinya sendiri.
Malah, pernah (dalam suatu kurun waktu dan tempat tertentu) diskriminasi tersebut semakin meluas dalam wujud berbagai bentuk: kekerasan terhadap perempuan; domestifikasi; poligami; pelecehan dan kekerasan seksual; pembedaan lapangan pekerjaan dan perlakuan di tempat kerja—bahkan, dalam bidang pekerjaan yang sama pun, perempuan ada yang dibedakan upahnya; asumsi bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan; prasangka seksual (biologis); stereotipe dan standar nilai masyarakat terhadap perempuan, dan seabrek bentuk-bentuk lainnya.
Sekian banyak daftar penindasan terhadap perempuan tak akan habisnya diurutkan dari A sampai Z. Sedikit yang menyadari bahwa keseluruhan persoalan tersebut hanyalah ekses atau dampak yang berasal dari dari akar persoalan (yang menjadi penyebabnya). Akar persoalan tersebutlah yang akan dibahas dalam tulisan singkat ini, dengan segala keterbatasannya.
Praktek-praktek penundukan terhadap perempuan, di balik prasangka yang mengasumsikan perempuan adalah lemah dan berada di bawah perlindungan laki-laki, adalah kenyataan sosial yang sudah berusia ribuan tahun lamanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kaum perempuan sendiri sering kali pasrah bahkan menginternalisasi anggapan bahwa ketidaksetaraan jender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan. Inilah yang disebut kesadaran palsu yang, celakanya, sekarang ini, paling luas diderita oleh perempuan.
Jikalau ketidaksetaraan jender memang takdir biologis, maka begitu celakanya makhluk manusia yang bernama perempuan ini. Bahkan makhluk binatang berkelamin betina saja memiliki kesetaraan secara alamiah, mengapa tidak demikian halnya dengan makhluk manusia yang berakal budi dan paling sempurna ini?
Itulah pandangan filosofis tentang ketidaksetaran jender yang mendominasi kesimpulan sejarah perkembangan masyarakat manusia (lelaki dan perempuan). Dan sesungguhnya, seiring kemajuan kerja dan daya pikir manusia, maka berbagai bukti ilmiah yang sanggup dipertanggungjawbkan sudah dapat memberikan bukti bahwa posisi ketidaksetaraan jender bukan-lah takdir biologis kaum perempuan; bahwa, dalam fase awal perkembangan masyarakat manusia, berbagai bukti menunjukkan: (manusia) perempuan dilahirkan dan hidup setara, bahkan menjadi sumber penghidupan manusia.
Terlebih lagi, salah satu preposisi dalam buku Bachofen, Mother Right, yang diterbitkan pada tahun 1861, menyebutkan bahwa konsep patriarchal (garis-ayah) tidak serta merta ada. Bukti sejarah menyatakan bahwa garis keturunan pada awalnya hanya diletakkan pada garis perempuan—sesuai dengan hak ibu dan, akibatnya, ibu-lah satu-satunya orang tua yang diketahui pasti oleh generasi yang lebih muda, yang memiliki posisi yang lebih dimuliakan dan dihormati. Sebutan-sebutan semacam Ibu Pertiwi dan Dewi Kesuburan adalah bukti-bukti bahwa kaum perempuan, dalam satu fase sejarah manusia, pernah menempati posisi utama dalam sistem produksi masyarakat.
Hubungan antara Kepemilikan Pribadi dengan Penindasan Perempuan
Lewis H. Morgan dan Frederick Engels adalah dua ilmuwan besar yang memberikan sumbangan luar biasa untuk memahami dasar-dasar pemikiran mengenai akar penyebab penindasan terhadap perempuan. Morgan, dalam bukunya Ancient Society, yang terbit tahun 1877, menyatakan “fakta bahwa institusi pokok di dalam masyarakat beradab—yaitu keluarga, pemilikan pribadi, dan negara—terbukti tidak pernah eksis di dalam kehidupan pra-sejarah.”
Menyempurnakan apa yang ditulis Morgan tersebut, Frederick Engels, di dalam “The Origin of the Family, Private Property and the State”, yang terbit pada tahun 1884, memberi tekanan terhadap banyaknya data yang sudah dikumpulkan oleh para arkeolog dan para antropolog yang “membenarkan ide bahwa komunitas manusia pada awalnya tak terbagi-bagi ke dalam kelas-kelas sosial dan, secara jender, egalitarian”.
Apa yang hendak kita tarik dari dua kesimpulan penelitian diatas? Tak lain dan tak bukan adalah pemahaman kritis bahwa ketidaksetaraan jender, sekaligus ketimpangan sosial masyarakat saat ini antara golongan (kelas) yang memiliki begitu banyak dengan yang tak memiliki apapun, tidaklah final. Bahkan begitu penting untuk memahami bahwa ketidaksetaraan jender adalah produk dari masyarakat yang digolong-golongkan berdasarkan kelas-kelas.
Pengelompokan masyarakat berdasarkan kelas adalah pengelompokan yang paling utama dan jelas. Pertama, kelas tumbuh dari fondasi-fondasi masyarakat yang paling mendasar, yaitu yang langsung berasal dari relasi masyarakat/manusia dengan alat-alat produksi; Kedua, kelas merupakan pengelompokan sosial yang paling kuat dan paling banyak keanggotaannya di tengah-tengah masyarakat, yang relasi serta dan kontradiksinya sangat mempengaruhi jalannya sejarah kehidupan sosial dan politik masyarakat.
Di dalam bukunya, Engels menegaskan bahwa “eksplotasi kelas dan penindasan seksual atas perempuan lahir bersamaan, dengan tujuan melayani kepentingan sistem kepemilikan pribadi, dan itu berlaku sampai kini”. Dalam menyimpulkan bahwa eksploitasi dan penindasan tersebut tidak-lah abadi maka ia menambahkan bukti bahwa hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan, termasuk sistem nilainya, bisa berubah, dan merupakan hasil dari perubahan tenaga produktif manusia dan sistem produksinya. Sistem produksi yang berbeda menghasilkan pola hubungan kemasyarakatan yang berbeda-beda pula.
Dalam masa-masa pra-sejarah, ketika sistem produksi peternakan hewan ditemukan oleh komunitas kesukuan, peningkatan kemakmuran dan status sosial hanya diperoleh oleh laki-laki. Hal tersebut disebabkan karena kaum lelaki-lah yang menjalankan dan menguasai kegiatan peternakan tersebut. Sumbangan kaum lelaki terhadap kesejahteraan komunitas kesukuan tersebut malahan menyebabkan kaum perempuan tersingkir dari produksi sosial, digantikan dengan tugas-tugas perempuan tradisional, yakni menyiapkan makanan dan mengerjakan kerajinan tangan.
Pola hubungan masyarakat berdasarkan keluarga pra-peradaban atau yang disebut primal horde atau keluarga consanguine, hingga keluarga monogami yang patriarchal, lahir dan terus berkembang sebagai wujud tersingkirnya kaum perempuan dari produksi sosial tersebut.
Namun demikian, Engels sendiri mengakui bahwa ia, yang hanya memberikan bukti-bukti yang tersedia pada saat itu saja, tak sanggup menjelaskan mengapa kegiatan peternakan, yang sebelumnya dimiliki bersama oleh komunitas kesukuan, berubah menjadi milik kaum lelaki secara individual hingga menyingkirkan peran perempuan dari sistem produksi.
Kemudian, Pat Brewer, dalam sebuah pamflet The Dispossession of Women, yang diterbitkan oleh Resistance Book pada tahun 2000, menambahkan bukti-bukti baru menyangkut akar penyebab penyingkiran perempuan dari sistem produksi sosial pertanian. Bahwa peningkatan produktivitas pertanian (yang menggunakan bajak) lebih besar ketimbang peningkatan produkstivitas holtikultura; dan, seiring dengan itu, terdapat landasan material bahwa kaum lelaki menurun minatnya terhadap kegiatan (mata pencaharian) berburu; fakta yang mengungkapkan bahwa, memang, proses membajak merupakan kerja yang lebih individual dan lebih berat ketimbang holtikultura; bahwa terdapat kesulitan untuk mengkombinasikan kerja individual tersebut dengan kegiatan memelihara bayi; dan, bahwa perdagangan makanan dan produk-produk ternak peliharaan (dengan basis kuantitas yang lebih besar dan beragam) sekarang bisa dilaksanakan dan semakin berkembang; semuanya itu memberikan sumbangan yang menyebabkan kaum perempuan diisolasi ke dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga, kemudian, tak memiliki kekuasaaan ladi terhadap produksi makanan-pokok―yang, sebenarnya, merupakan landasan bagi terciptanya status dan kekuasaan yang sama antara kaum lelaki dan kaum perempuan di dalam masayarakat sebelumnya.
Kemajuan tenaga produktif dan alat-alat kerja—seperti penemuan mata bajak—yang memungkinkan sistem produksi pertanian dengan produktivitas yang berlebih (surplus), adalah fase yang sangat menentukan perubahan hubungan sosial masyarakat. Kepemilikan pribadi terhadap alat-alat produksi—sebagai wujud kekuasaan individual terhadap surplus produksi—dan spesialisasi kerja produksi-lah yang selanjutnya memberikan landasan bagi ketidaksetaraan kedudukan sosial laki-laki dan perempuan.
Terdapat hubungan yang sangat erat antara perkembangan pemilikan pribadi dengan penindasan terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk terus-menerus mengamati dan menjelaskan bentuk-bentuk perkembangan pemilikan pribadi dalam berbagai fase perkembangan masyarakat yang memelihara penindasan terhadap perempuan.
Demikian pula, begitu pentingnya karya-karya tersebut dipelajari agar kaum perempuan dapat memeriksa mekanisme mengapa serta bagaimana asal-usul penindasan perempuan terjadi, agar kita dapat menyimpulkan dan mengubahnya.

Penulis adalah Koord. Urusan Pendidikan dan Bacaan Komite Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (KN-JNPM); Koord. Departemen Pendidikan dan Propaganda Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM); PJs Wakil Sekretaris Umum dan Kabid Perempuan dan Budaya Pengurus Pusat Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (PP GSPB).

Tidak ada komentar: