Antropologi Jender dan Asal-usul Ketidaksetaraan Jender (2)

Pentingnya Memahami Akar Penyebab Penindasan terhadap Perempuan
Ditulis oleh : Zelly Ariane

Dalam hal memahami akar penindasan terhadap kaum perempuan, maka sangat penting untuk melakukan penelitian dan pemahaman terhadap asal-usul keluarga, kepemilikan pribadi, negara, serta penyingkiran perempuan dari produksi sosial. Hasil-hasil penelitian, dan tulisan orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya, sangat lah penting bagi mereka yang sedang berjuang untuk membongkar kesalah-kaprahan pemahaman yang menganggap ketidaksetaraan jender adalah alamiah.
Kaum perempuan yang sudah menyadari adanya ketidaksetaraan jender seringkali terjebak pada pilihan-pilihan jalan keluar yang salah, yang malah semakin menjerumuskannya lebih dalam ke jurang penindasan. Akibat tak memahami akar penyebab penindasannya, kaum perempuan cenderung berpuas dengan kesetaraan yang formal dan tidak hakiki, atau celakanya bahkan sampai memerangi makhluk laki-laki yang dianggapnya sebagai penyebab segala kesengsaraannya di dunia.
Dengan memahami asal-usul penindasan perempuan, serta bentuk-bentuk lanjutannya di era peradaban modern, maka dengan mudah kita dapat mengerti mengapa berbagai upaya hukum untuk melindungi dan menjamin kesetaraan perempuan di seluruh dunia saat ini begitu sulit untuk ditegakkan. Kita juga akan mengerti bahwa hukum-hukum (universal) pengakuan kesetaraan terhadap perempuan hanyalah penyeimbang/penghibur bagi ketimpangan yang tak sanggup diatasi di bawah syarat-syarat sistem produksi yang berdasarkan penggolongan kelas.
Kaum perempuan janganlah menyerah untuk terus berfikir dan mencari jawaban terhadap penyebab minimnya implementasi dan banyaknya pelanggaran terhadap berbagai konvenan perlindungan dan jaminan kesetaraan perempuan. Apakah karena ketiadaaan political will pemerintah-pemerintah negara-bangsa? Ataukah karena begitu minimnya pemahaman/kesadaran masyarakat dan para aktivisnya? Atau saling pertalian antara keduanya? Atau ada sebab-sebab lain yang lebih fundamental, yakni menyangkut sistem ekonomi-politik negara-bangsa modern yang dengan sadar memelihara konsep-konsep penindasan perempuan, yang sekadar memungkinkan pengakuan formal hak perempuan tapi tak memungkinkan penegakan sepenuh-penuhnya?
Lihat dan periksa-lah berbagai pasal yang dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), yang memberikan pengokohan terhadap prinsip-prinsip kesetaraan dengan menuntut pihak negara untuk mengambil “segala tindakan yang tepat, termasuk perundangan, untuk memastikan pengembangan dan kemajuan maksimal kaum perempuan, demi memberikan jaminan hak-hak azasi manusia dan kebebasan fundamental di atas landasan kesetaraan dengan laki-laki”.
Tentu saja perlindungan CEDAW adalah sebuah capaian hukum universal yang cukup maju (pada masanya) bagi kaum perempuan namun, para aktivis pembebasan perempuan, dalam perjuangannya, bisa saja begitu pusing dan lelah saat menyadari bahwa negara, yang seharusnya berperan penting dalam perlindungan tersebut lebih tunduk terhadap kepentingan kelas yang dominan (yang di dalamnya bukan hanya laki-laki tapi juga perempuan), ketimbang kepentingan perempuan.
Kepusingan lainnya bisa terjadi akibat formalisme kesetaraan yang tercermin dalam contoh berikut. Adalah benar tuntutan lebih banyak kaum perempuan di dalam lembaga perwakilan rakyat atau institusi apapun merupakan upaya untuk memajukan (affirmative action) kesadaran, kepercayaan diri, dan partisipasi perempuan. Kendati demikian, apakah dengan lebih banyak perempuan memimpin atau memerintah maka penindasan terhadapnya akan serta merta hilang? Apakah terbukti bahwa pemimpin-pemimpin perempuan di berbagai negeri di dunia adalah orang-orang yang membela hak-hak perempuan? Atau apakah di bawah kepemimpinan mereka status perempuan buruh, perempuan petani atau masyarakat pribumi secara keseluruhan semakin maju?
Terhadap ‘kehakikian’ posisi perempuan di dalam keluarga, sebagaimana yang dimuliakan oleh masyarakat kelas yang relijius, persoalan berikut adalah tantangan yang harus dijawab. Bagaimana dengan kenyataan begitu banyaknya perempuan miskin yang harus bekerja di luar rumah dalam waktu yang lama (hingga larut malam/pagi); harus berpisah dari anak-anak atau suaminya—bahkan kerap tak bersuami atau ditinggalkan begitu saja oleh suami; ibu atau ayah yang menjual anaknya; perempuan-perempuan muda yang menjadi tenaga kerja murah di luar negeri; perempuan yang menjual kehormatannya. Semua itu disebabkan oleh persoalan ekonomi di zaman modern.
Sungguh mengerikan menyadari bahwa, di tengah masyarakat beradab yang relijius, berpengetahuan dan berteknologi tinggi di abad modern ini, milyaran kaum perempuanya hidup miskin tanpa akses pengetahuan, kesehatan, tak kenal model keluarga sakinah, tak kenal kenikmatan seksual, tak kenal romantisme, hanya mengenal bagaimana menyelamatkan hidupnya esok hari.
Itulah ambiguitas perjuangan pembebasan perempuan, yang tak kunjung selesai dan terus jatuh ke lubang kesalahan yang sama, bila mengabaikan hubungan antara eksploitasi kelas dengan penindasan seksual: yakni eksploitasi oleh sistem perbudakan, feodalisme, dan kapitalisme terhadap kaum perempuan.
Dengan memahami cara kerja perangkat-perangkat sistem yang berusia ribuan tahun, yang memelihara ketidaksetaraan dan penindasan terhadap perempuan, maka kita dapat merumuskan masa depan pembebasan kita. Siapa kawan yang harus kita rangkul? Apa penghambat fundamental yang harus kita singkirkan? Bagaimana metode dan tahap-tahapannya? Itulah soal-soal historis yang akan kita jawab hingga ke aspek yang paling praktis di dalam tema-tema berikutnya.

penulis adalah Koord. Urusan Pendidikan dan Bacaan Komite Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika (KN-JNPM); Koord. Departemen Pendidikan dan Propaganda Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin (DHN-PPRM); PJs Wakil Sekretaris Umum dan Kabid Perempuan dan Budaya Pengurus Pusat Gabungan Solidaritas Perjuangan Buruh (PP GSPB).

Tidak ada komentar: