Lomba Foto, adalah hasil rekaman oleh kamera terhadap kondisi real puspa dan satwa di
Indonesia di mana saja peserta lomba berada untuk merekam obyeknya ; Kenyataan yang tak terbantahkan atas kondisi sesungguhnya di lapangan tentang problematika lingkungan Indonesia, karena foto merupakan bukti otentik dan Foto-foto adalah saksi sejarah yang tak mudah rusak ditelan waktu. Dengan kecanggihan teknologi foti-foto yang berbicara tentang potret puspa dan satwa lingkungan seusungguhnya dapat terekamn dan terus dilihat oleh anak-cucu Bangsa Indonesia.
B.1. Syarat Peserta :
Terbuka untuk Umum (kecuali anggota Panitia dan keluarga).
Peserta wajib menggunakan nama asli sesuai dengan identitas resmi
(KTP/SIM/Paspor).
B.2. Ketentuan Lomba :
Karya Foto (bebas) boleh Berwarna atau Hitam Putih dari kamera Analog
dan/atau Digital. Olah Digital yang diperkenankan sebatas menyesuaikan Burning, Dogging, dan hal lain yang wajar, namun tanpa ada (tidak diperbolehkan)menambah (penggabungan) unsur, elemen Obyek lain diluar Obyek Foto Asli itu sendiri.
Foto dapat di cetak dgn Proses Kimia (Lab) maupun di Cetak dengan Mesin Printer (Digital printing). Ukuran Foto 20cm x 25cm. Setiap peserta boleh mengirim foto Maksimal = 5 (lima) lbr .
Foto dikirim tanpa dibingkai, juga tanpa ditempel alas apapun juga, pengiriman (dalam Amplop Tertutup) & Foto agar diberi perlindungan karton atau Media tebal lainnya agar tidak rusak.
Dibalik (setiap) foto ditulis : Nama Peserta, Alamat, Telp / HP, Fax, Email
, Judul Foto & Lokasi Pemotretan. Karya Foto, tidak diperkenankan dicantumkan Logo, Tanda tangan atau hal lain yang bersifat Non Fotografis.
Dilarang bernuansa SARA, Sadisme, Pornografi (tidak diterima & tidak dijuri).
Foto merupakan hasil karya asli peserta & tidak terikat sewa menyewa dengan pihak lain. Panitia tidak bertanggung jawab apabila dikemudian hari timbul gugatan atas Obyek Foto dari karya foto yang di ikut sertakan dalam Lomba.
Bila dikemudian hari diketahui ada pelanggaran maka segala atribut Pemenang akan dicabut (Diskualifikasi). Panitia memiliki hak penuh atas penggunaan foto-foto pemenang untuk keperluan publikasi (hak cipta tetap dimiliki Fotografer).
Hanya foto-foto Pemenang & foto yang dinilai layak saja yang akan dipamerkan.
Keputusan Panitia & Juri adalah mutlak, sah serta tidak dapat diganggu gugat. Panitia tidak melayani surat-menyurat dalam bentuk apapun juga.
Dengan mengikutsertakan karya fotonya dalam lomba ini berarti peserta telah
mengetahui & menyetujui segala persyaratan serta peraturan yang telah ditentukan oleh Panitia lomba. Karya akan dipamerkan pada acara Peringatan Hari Keanekaragaman hayati.
B.3. Kriteria
Penilaian :
Originalitas
Kesesuaian
tema
Ketersampaian
pesan lingkungan (komunikatif)
B.4. Hadiah :
Seluruh Kategori (Pelajar dan Umum) akan dipilih foto terbaik I dan II,masing-masing akan mendapatkan :
Foto terbaik I : Trophy, piagam penghargaan dan Uang Rp. 1.250.000,-
Foto terbaik II : Trophy, piagam penghargaan dan Uang Rp. 750.000,-
B.3. Agenda
Calling entry dibuka pada tanggal 15 Nopember 2009 dan ditutup pada tanggal
25 Desember 2009
Kirim pendaftaran Anda ke BLH Jatim Jl. Wisata Menanggal No. 38 Surabaya melalui pos, agen pengiriman, maupun diantar langsung sebelum tanggal 26 Desember 2009.
Periksa situs web htm www.blhjatim.net untuk melihat apakah pendaftaran Anda
sudah diterima atau belum.
Hasil penjurian akan diumumkan pada tanggal 28 Desember 2009. Foto
yang terpilih sebagai pemenang dipamerkan pada acara puncak Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati pada tanggal 28 – 30 Desember 2009.
Lain-lain
Hasil Lomba tersebut akan dipamerkan pada tanggal 17 s/d 19 Desember 2009
bertempat di Balai Pemuda atau di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL)Surabaya, selain hal tersebut juga akan diadakan Screening film (pemutran film yang masuk nominasi) dan Dialog Apreasiasi Film Lingkungan yang dapat dihadiri masyarkat umum.
Read more!
LOMBA FILM LINGKUNGAN BLH JATIM 2009
Dalam rangka peningkatan kepedulian masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup di Jawa Timur, Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur akan menyelenggarakan :
TEMA Lomba Film “ Bersama Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim”
Lomba Foto "Lindungi Puspa dan Satwa Nasional sebagai Cermin Peradaban Bangsa"
BENTUK KEGIATAN
A. Lomba film, yang terdiri dari : lomba IKLAN LAYANAN MASYARAKAT
dan lomba Film FIKSI.
A.1. Syarat Peserta :
Peserta adalah Pelajar (SD, SMP, SMA) dan umum (Mahasiswa dan Umum)
Peserta adalah pemegang hak cipta atas video yang diikutsertakan dalam lomba
Peserta wajib menggunakan nama asli sesuai dengan identitas resmi (KTP/SIM/Paspor/KTM/Kartu Pelajar), serta dilampirkan.
A.2. Persyaratan Lomba:
Berdurasi Iklan Layanan Masyarakat 20 detik - 1 menit, Film Fiksi 5 – 15 menit (tidak termasuk credit title) Kategori karya adalah video pendek dengan format iklan, kampanye, video seni, yang sesuai dengan tema(implisit/eksplisit) Film
dikirim dalam bentuk DVD / MiniDV PAL beserta:
Formulir yang telah diisi lengkap, formulir dapat di download www.blhjatim.net
Sampul film (print out & file data *.jpeg ukuran cover dvd)
Peserta diperkenankan mengirimkan lebih dari 1 (satu) karya film dengan
memenuhi persyaratan masing-masing, dengan masing-masing 3 (tiga) judul film.
Kemas berkas pendaftaran Anda, yang terdiri dari formulir pendaftaran, dan
semua kelengkapan wajib, dalam satu amplop tertutup. Jangan lupa tulis alamat pengirim maupun penerima dengan jelas.
Apabila bahasa asli dari film bukan Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris, maka film wajib diberi subtitle dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris. Film yang dikirimkan berhak disiarkan atau ditayangkan oleh panitia untuk keperluan media pendidikan dan/atau kampanye lingkungan.
Peserta yang sudah mendaftar dan mengirimkan filmnya berarti bersedia apabila materi dan potongan film digunakan oleh panitia untuk keperluan promosi dan bumper acara. Video belum pernah memenangkan lomba lain dan bukan profil
industri/perusahaan, iklan televisi dan video musik. Video tidak mengandung isu SARA (Suku, Ras, dan Agama)
Penggunaan materi film yang berasal dari karya pihak lain (seperti: musik latar dan/atau potongan gambar/footage) harus disertai izin khusus dari pihak yang
terkait.
Media pembuatan (hardware/software) dan media peralatan yang dipakai bebas
sesuai kreasi partisipan.
Panitia BLH Jatim memiliki hak penuh untuk menggunakan semua karya yang
diterima untuk media pendidikan dan/atau kampanye lingkungan di masa mendatang (hak cipta tetap pada pembuat). Panitia tidak bertanggung jawab jika di kemudian hari terdapat gugatan oleh pihak ketiga dari karya yang dikirimkan peserta.
Dewan Juri berhal membatalkan pemenang apabila diketahui karya pemenang
pernah menang di lomba lain Keputusan dewan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
A.3. Agenda
Calling entry dibuka pada tanggal 15 Nopember 2009 dan ditutup pada tanggal
25 Desember 2009
Kirim pendaftaran Anda ke BLH Jatim Jl. Wisata Menanggal No. 38 Surabaya
melalui pos, agen pengiriman, maupun diantar langsung sebelum tanggal 26 Desember 2009. Periksa situs web htm www.blhjatim.net untuk melihat apakah pendaftaran Anda sudah diterima atau belum.
Hasil penjurian akan diumumkan pada tanggal 28 Desember 2009. Video
yang terpilih sebagai pemenang dipamerkan pada acara puncak Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati pada tanggal 28 - 30 Desember 2009.
A.4. Kriteria
Penilaian :
Originalitas
Kesesuaian tema
Ketersampaian
pesan lingkungan (komunikatif)
A.5. Hadiah:
Seluruh Kategori (Pelajar dan Umum, untuk 2 film, yaitu IKLAN LAYANAN
MASYARAKAT dan FIKSI) masing-masing akan mendapatkan :
Film Terpuji dan Iklan Layanan Masyarakat Terpuji, mendapatkan :
Trophy, piagam penghargaan dan Uang Rp. 1.500.000,-
Dari Kedua Jenis Film dimaksud akan dipilih Ide Cerita Terbaik dengan hadiah : Trophy, piagam penghargaan dan Uang Rp. 1.500.000,-
Hasil Lomba tersebut akan dipamerkan pada tanggal 17 s/d 19 Desember 2009
bertempat di Balai Pemuda atau di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL)Surabaya, selain hal tersebut juga akan diadakan Screening film (pemutran film yang masuk nominasi) dan Dialog Apreasiasi Film Lingkungan yang dapat dihadiri masyarkat umum.
Read more!
TEMA Lomba Film “ Bersama Selamatkan Bumi dari Perubahan Iklim”
Lomba Foto "Lindungi Puspa dan Satwa Nasional sebagai Cermin Peradaban Bangsa"
BENTUK KEGIATAN
A. Lomba film, yang terdiri dari : lomba IKLAN LAYANAN MASYARAKAT
dan lomba Film FIKSI.
A.1. Syarat Peserta :
Peserta adalah Pelajar (SD, SMP, SMA) dan umum (Mahasiswa dan Umum)
Peserta adalah pemegang hak cipta atas video yang diikutsertakan dalam lomba
Peserta wajib menggunakan nama asli sesuai dengan identitas resmi (KTP/SIM/Paspor/KTM/Kartu Pelajar), serta dilampirkan.
A.2. Persyaratan Lomba:
Berdurasi Iklan Layanan Masyarakat 20 detik - 1 menit, Film Fiksi 5 – 15 menit (tidak termasuk credit title) Kategori karya adalah video pendek dengan format iklan, kampanye, video seni, yang sesuai dengan tema(implisit/eksplisit) Film
dikirim dalam bentuk DVD / MiniDV PAL beserta:
Formulir yang telah diisi lengkap, formulir dapat di download www.blhjatim.net
Sampul film (print out & file data *.jpeg ukuran cover dvd)
Peserta diperkenankan mengirimkan lebih dari 1 (satu) karya film dengan
memenuhi persyaratan masing-masing, dengan masing-masing 3 (tiga) judul film.
Kemas berkas pendaftaran Anda, yang terdiri dari formulir pendaftaran, dan
semua kelengkapan wajib, dalam satu amplop tertutup. Jangan lupa tulis alamat pengirim maupun penerima dengan jelas.
Apabila bahasa asli dari film bukan Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris, maka film wajib diberi subtitle dalam Bahasa Indonesia/Bahasa Inggris. Film yang dikirimkan berhak disiarkan atau ditayangkan oleh panitia untuk keperluan media pendidikan dan/atau kampanye lingkungan.
Peserta yang sudah mendaftar dan mengirimkan filmnya berarti bersedia apabila materi dan potongan film digunakan oleh panitia untuk keperluan promosi dan bumper acara. Video belum pernah memenangkan lomba lain dan bukan profil
industri/perusahaan, iklan televisi dan video musik. Video tidak mengandung isu SARA (Suku, Ras, dan Agama)
Penggunaan materi film yang berasal dari karya pihak lain (seperti: musik latar dan/atau potongan gambar/footage) harus disertai izin khusus dari pihak yang
terkait.
Media pembuatan (hardware/software) dan media peralatan yang dipakai bebas
sesuai kreasi partisipan.
Panitia BLH Jatim memiliki hak penuh untuk menggunakan semua karya yang
diterima untuk media pendidikan dan/atau kampanye lingkungan di masa mendatang (hak cipta tetap pada pembuat). Panitia tidak bertanggung jawab jika di kemudian hari terdapat gugatan oleh pihak ketiga dari karya yang dikirimkan peserta.
Dewan Juri berhal membatalkan pemenang apabila diketahui karya pemenang
pernah menang di lomba lain Keputusan dewan juri mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
A.3. Agenda
Calling entry dibuka pada tanggal 15 Nopember 2009 dan ditutup pada tanggal
25 Desember 2009
Kirim pendaftaran Anda ke BLH Jatim Jl. Wisata Menanggal No. 38 Surabaya
melalui pos, agen pengiriman, maupun diantar langsung sebelum tanggal 26 Desember 2009. Periksa situs web htm www.blhjatim.net untuk melihat apakah pendaftaran Anda sudah diterima atau belum.
Hasil penjurian akan diumumkan pada tanggal 28 Desember 2009. Video
yang terpilih sebagai pemenang dipamerkan pada acara puncak Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati pada tanggal 28 - 30 Desember 2009.
A.4. Kriteria
Penilaian :
Originalitas
Kesesuaian tema
Ketersampaian
pesan lingkungan (komunikatif)
A.5. Hadiah:
Seluruh Kategori (Pelajar dan Umum, untuk 2 film, yaitu IKLAN LAYANAN
MASYARAKAT dan FIKSI) masing-masing akan mendapatkan :
Film Terpuji dan Iklan Layanan Masyarakat Terpuji, mendapatkan :
Trophy, piagam penghargaan dan Uang Rp. 1.500.000,-
Dari Kedua Jenis Film dimaksud akan dipilih Ide Cerita Terbaik dengan hadiah : Trophy, piagam penghargaan dan Uang Rp. 1.500.000,-
Hasil Lomba tersebut akan dipamerkan pada tanggal 17 s/d 19 Desember 2009
bertempat di Balai Pemuda atau di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL)Surabaya, selain hal tersebut juga akan diadakan Screening film (pemutran film yang masuk nominasi) dan Dialog Apreasiasi Film Lingkungan yang dapat dihadiri masyarkat umum.
Read more!
Mesin Pembunuh Itu Bernama UNAS
Pada sebuah pagi, seorang anak lelaki kecil pulang terburu-buru dari sekolahnya. Tangannya yang lucu menenteng sepucuk surat dari gurunya. Sesampai di rumah, ia segera menghampiri ibunya seraya berseru : “Mama... mama, ada surat dari bapak guru.”
Sang ibu, Nancy Elliot, menyambut anak bungsu dari tujuh bersaudara ini dengan ciuman dan pelukan penuh kasih sayang. Ia ambil pucuk surat dari tangan bocah lucu itu. Dengan sedikit tergesa, dibukanya amplop surat tersebut.
Tangan Nancy tiba-tiba bergetar saat matanya mulai membaca kata demi kata dalam surat dari guru anaknya.
"Anak ini terlalu bodoh untuk dididik. Kami mengembalikannya kepada Anda. Mulai besok tidak perlu datang ke sekolah lagi."
Air mata Nancy mulai meleleh setelah membaca kalimat tersebut. Hancur hatinya membaca ‘amar putusan’ guru anaknya. Bagaimana mungkin, anak yang baru berusia 7 tahun, dan baru duduk di bangku sekolah selama 3 bulan, bisa mendapat keputusan sedahsyat itu ? Ia sangat kecewa dengan keputusan itu.
“Mengapa mama menangis ?” tanya si bocah tak paham.
Dengan mata berlinang air mata, si ibu meraih dan memeluk tubuh kecil itu. Dengan suara serak, dibisikkan kalimat ke telinga anaknya,
“Thomas, I educated you my self.”
Semenjak hari ‘naas’ itu, Thomas tak pernah lagi menginjakkan kaki di sekolah. Ibunya, yang kebetulan mantan guru, mengajarinya membaca dan berhitung. Dengan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa, akhirnya Nancy mampu membuat Thomas bisa membaca dan berhitung dengan baik. Bahkan dari sistem pengajaran yang dikembangkan Nancy, Thomas tumbuh menjadi anak genius.
Thomas, yang diberi stigma ‘terlalu bodoh’ dan didrop-out dari sekolahnya itu, kemudian hari mampu menancapkan namanya dalam jajaran nama-nama ilmuwan yang paling terkemuka di muka bumi ini. Konon, tidak kurang dari 3000 penemuan tercatat atas namanya. Anak ‘yang terlalu bodoh’ itu adalah Thomas Alva Edison.
Dari ilustrasi di atas tampak bahwa sekolah Thomas tak mampu melihat bakat genius Thomas. Yang terlihat malah sebaliknya, Thomas adalah anak yang ‘terlalu bodoh’. Bisa jadi Nancy akan menyesal jika saja Thomas tidak di-DO dari sekolahnya. Anak seberbakat Thomas tak cocok dididik di sekolah ‘biasa’ yang menganggap semua muridnya memiliki kemampuan sama.
Dalam macam yang sedikit berbeda, nasib buruk seperti dialami Thomas, juga dialami oleh beberapa murid di negeri ini. Di tahun-tahun kemarin, banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Sebut saja Siti Hapsah. Pada 2006, mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
Padahal, sebelum ujian, ia sudah dinyatakan lolos seleksi sebagai mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Siti selalu menduduki peringkat satu atau juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur. Bahkan ada seorang murid dari SMA PSKD 7 Jakarta yang, namanya Melati, harus rela ‘membuang’ bea siswa dari luar negeri gara-gara tak lulus ujian nasional. ( diambil dari VIVAnews edisi 27 November 2009 ). Dan berita serupa masih banyak.
Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari dan hanya menguji beberapa mata pelajaran saja tidak mungkin mampu menilai kemampuan murid secara memadai. Prestasi murid yang dibina selama 3 tahun dibantai melalui Unas hanya selama beberapa hari saja. Apakah ini bukan pelecehan HAM oleh pemerintah terhadap penduduknya ?
Sebagai masyarakat, tentu kita patut bersyukur saat MA menolak kasasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Unas. Putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional. Namun sayangnya, meski ada putusan MA di atas, pemerintah tetap ngotot akan mengadakan Unas untuk tahun 2010 ini.
Alasan yang digunakan pemerintah untuk tetap mengadakan unas adalah karena dapat digunakan untuk menentukan kelulusan, memetakan mutu pendidikan nasional dan seleksi masuk PTN. Barangkali alasan unas sebagai instrumen penentuan kelulusan murid telah banyak diprotes. Pertama, adalah tidak adil menilai prestasi murid selama 3 tahun hanya dalam waktu beberapa hari. Apalagi jika yang di-unas-kan hanya beberapa mata pelajaran saja. Apakah alat yang bernama unas itu cukup valid dan reliable sebagai alat ukur penentuan kelulusan murid ? Dan semakin aneh jika unas ini digunakan untuk menentukan kelulusan murid SMK. Bukankah SMK bertujuan mendidik murid untuk terampil dalam bidang pekerjaan tertentu ? Bagaimana mungkin pendidikan yang bertujuan mendidik untuk terampil tapi yang diuji sisi kognitifnya, apalagi materi ujiannya tidak sama dengan keterampilan yang diajarkan ?
Mengenai alasan unas sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, timbul pertanyaan, setelah dipetakan, sekolah-sekolah itu
mau diapakan ? Kalau setelah dipetakan, pemerintah punya tanggung-jawab membenahi sekolah-sekolah yang punya grade rendah, tentu baik-baik saja. Masyarakat pasti akan mendukung. Tapi kalo sekedar memberi label, misalnya sekolah A adalah kelompok muridnya pintar-pintar, sekolah B termasuk muridnya tidak terlalu pintar, dan sekolah D adalah sekolahnya anak bodoh, maka penistaan pemerintah terhadap murid-murid sungguh keterlaluan. Ini patut dilawan.
Sebagai alat seleksi masuk PTN ? Tentu bukan hal yang mudah. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pelaksanaan unas sering diwarnai oleh kecurangan-kecurangan. Hal ini telah terjadi bertahun-tahun. Hingga tahun kemarin pemerintah belum mampu mengatasinya. Kalau dipaksakan sebagai alat seleksi masuk PTN, pasti akan menimbulkan permasalahan-permasalah kebocoran yang lebih akut.
Tujuan Pendidikan adalah Mencerdaskan
Jika tujuan pendidikan adalah mencerdaskan, maka pendidikan haruslah mampu menggali seluruh potensi murid untuk dikembangkan. Hal ini supaya segenap kecerdasan yang dimiliki murid bisa ditumbuhkan secara optimal. Dengan adanya unas, maka segenap daya dan usaha sekolah dan murid hanyalah terfokus pada mengembangkan sisi kognitif, dan itu pun hanya untuk beberapa mata pelajaran saja.
Di banyak sekolah, untuk murid-murid kelas tiga hanya diberi pelajaran-pelajaran yang di-unas-kan saja. Pelajaran non unas diberikan asal-asalan. Begitu juga dengan muridnya. Waktu, tenaga dan dana yang mereka miliki hanya untuk mempelajari pelajaran-pelajaran unas. Pelajaran lain, mereka abaikan. Alasanya, tidak mempengaruhi kelulusan.
Bukankah dengan begitu berarti adanya unas telah mengorbankan ( membunuh ) kecerdasan lain yang dimiliki murid ? Padahal kecerdasan lain itu sangat berguna untuk hidup di masyarakat. Justru, kecerdasan yang diukur oleh unas nyaris tidak ada gunanya di dunia kerja mau pun masyarakat umum. Coba saja, mana ada perusahaan yang menerima pekerja dengan melihat nilai unas dari calon pekerja tersebut. Demikian juga untuk hidup di masyarakat, pelajaran-pelajaran yg di-unas-kan sangat kecil relevansinya.
Jadi, kita patut heran, mengapa pemerintah terus ngotot mengadakan unas ?
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengemukakan apa yang disampaikan oleh sosiolog Imam Prasodjo di dalah satu TV swasta. Kira-kira begini singkatnya :”Sebelum pemerintah melakukan standardisasi pada murid-murid, harusnya melakukan standardisasi terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pemerintah harus melengkapi fasilitas-fasilitas yang kurang standard di sekolah-sekolah. Jika belum mampu melakukan upaya melengkapi fasilitas pendidikan yang ada hingga mencapai standard, maka tidak selayaknya pemerintah melakukan standardisasi pada murid-murid.”
Dan jika belum mampu menstandardkan fasilitas pendidikan dan masih ngotot menstandardisasikan murid-murid, maka pengambil kebijakan yang ngotot tetap melaksanakan unas ini harus distandardkan dulu otaknya. Jangan-jangan mereka ini gradenya sebagai pengambil kebijakan memang di bawah standard.
artikel ini diambil dari facebook**
Read more!
Sang ibu, Nancy Elliot, menyambut anak bungsu dari tujuh bersaudara ini dengan ciuman dan pelukan penuh kasih sayang. Ia ambil pucuk surat dari tangan bocah lucu itu. Dengan sedikit tergesa, dibukanya amplop surat tersebut.
Tangan Nancy tiba-tiba bergetar saat matanya mulai membaca kata demi kata dalam surat dari guru anaknya.
"Anak ini terlalu bodoh untuk dididik. Kami mengembalikannya kepada Anda. Mulai besok tidak perlu datang ke sekolah lagi."
Air mata Nancy mulai meleleh setelah membaca kalimat tersebut. Hancur hatinya membaca ‘amar putusan’ guru anaknya. Bagaimana mungkin, anak yang baru berusia 7 tahun, dan baru duduk di bangku sekolah selama 3 bulan, bisa mendapat keputusan sedahsyat itu ? Ia sangat kecewa dengan keputusan itu.
“Mengapa mama menangis ?” tanya si bocah tak paham.
Dengan mata berlinang air mata, si ibu meraih dan memeluk tubuh kecil itu. Dengan suara serak, dibisikkan kalimat ke telinga anaknya,
“Thomas, I educated you my self.”
Semenjak hari ‘naas’ itu, Thomas tak pernah lagi menginjakkan kaki di sekolah. Ibunya, yang kebetulan mantan guru, mengajarinya membaca dan berhitung. Dengan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa, akhirnya Nancy mampu membuat Thomas bisa membaca dan berhitung dengan baik. Bahkan dari sistem pengajaran yang dikembangkan Nancy, Thomas tumbuh menjadi anak genius.
Thomas, yang diberi stigma ‘terlalu bodoh’ dan didrop-out dari sekolahnya itu, kemudian hari mampu menancapkan namanya dalam jajaran nama-nama ilmuwan yang paling terkemuka di muka bumi ini. Konon, tidak kurang dari 3000 penemuan tercatat atas namanya. Anak ‘yang terlalu bodoh’ itu adalah Thomas Alva Edison.
Dari ilustrasi di atas tampak bahwa sekolah Thomas tak mampu melihat bakat genius Thomas. Yang terlihat malah sebaliknya, Thomas adalah anak yang ‘terlalu bodoh’. Bisa jadi Nancy akan menyesal jika saja Thomas tidak di-DO dari sekolahnya. Anak seberbakat Thomas tak cocok dididik di sekolah ‘biasa’ yang menganggap semua muridnya memiliki kemampuan sama.
Dalam macam yang sedikit berbeda, nasib buruk seperti dialami Thomas, juga dialami oleh beberapa murid di negeri ini. Di tahun-tahun kemarin, banyak siswa berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Sebut saja Siti Hapsah. Pada 2006, mimpinya kuliah di Institut Pertanian Bogor sirna gara-gara ujian ujian nasional. Ia dinyatakan tak lulus ujian nasional lantaran nilainya kurang 0,26.
Padahal, sebelum ujian, ia sudah dinyatakan lolos seleksi sebagai mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Siti selalu menduduki peringkat satu atau juara umum sejak duduk di bangku kelas 1 di Perguruan Rakyat II Jakarta Timur. Bahkan ada seorang murid dari SMA PSKD 7 Jakarta yang, namanya Melati, harus rela ‘membuang’ bea siswa dari luar negeri gara-gara tak lulus ujian nasional. ( diambil dari VIVAnews edisi 27 November 2009 ). Dan berita serupa masih banyak.
Ujian Nasional yang hanya dilaksanakan beberapa hari dan hanya menguji beberapa mata pelajaran saja tidak mungkin mampu menilai kemampuan murid secara memadai. Prestasi murid yang dibina selama 3 tahun dibantai melalui Unas hanya selama beberapa hari saja. Apakah ini bukan pelecehan HAM oleh pemerintah terhadap penduduknya ?
Sebagai masyarakat, tentu kita patut bersyukur saat MA menolak kasasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan pelaksanaan Unas. Putusan tersebut menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta pada 6 Desember 2007, yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional. Namun sayangnya, meski ada putusan MA di atas, pemerintah tetap ngotot akan mengadakan Unas untuk tahun 2010 ini.
Alasan yang digunakan pemerintah untuk tetap mengadakan unas adalah karena dapat digunakan untuk menentukan kelulusan, memetakan mutu pendidikan nasional dan seleksi masuk PTN. Barangkali alasan unas sebagai instrumen penentuan kelulusan murid telah banyak diprotes. Pertama, adalah tidak adil menilai prestasi murid selama 3 tahun hanya dalam waktu beberapa hari. Apalagi jika yang di-unas-kan hanya beberapa mata pelajaran saja. Apakah alat yang bernama unas itu cukup valid dan reliable sebagai alat ukur penentuan kelulusan murid ? Dan semakin aneh jika unas ini digunakan untuk menentukan kelulusan murid SMK. Bukankah SMK bertujuan mendidik murid untuk terampil dalam bidang pekerjaan tertentu ? Bagaimana mungkin pendidikan yang bertujuan mendidik untuk terampil tapi yang diuji sisi kognitifnya, apalagi materi ujiannya tidak sama dengan keterampilan yang diajarkan ?
Mengenai alasan unas sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan secara nasional, timbul pertanyaan, setelah dipetakan, sekolah-sekolah itu
mau diapakan ? Kalau setelah dipetakan, pemerintah punya tanggung-jawab membenahi sekolah-sekolah yang punya grade rendah, tentu baik-baik saja. Masyarakat pasti akan mendukung. Tapi kalo sekedar memberi label, misalnya sekolah A adalah kelompok muridnya pintar-pintar, sekolah B termasuk muridnya tidak terlalu pintar, dan sekolah D adalah sekolahnya anak bodoh, maka penistaan pemerintah terhadap murid-murid sungguh keterlaluan. Ini patut dilawan.
Sebagai alat seleksi masuk PTN ? Tentu bukan hal yang mudah. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pelaksanaan unas sering diwarnai oleh kecurangan-kecurangan. Hal ini telah terjadi bertahun-tahun. Hingga tahun kemarin pemerintah belum mampu mengatasinya. Kalau dipaksakan sebagai alat seleksi masuk PTN, pasti akan menimbulkan permasalahan-permasalah kebocoran yang lebih akut.
Tujuan Pendidikan adalah Mencerdaskan
Jika tujuan pendidikan adalah mencerdaskan, maka pendidikan haruslah mampu menggali seluruh potensi murid untuk dikembangkan. Hal ini supaya segenap kecerdasan yang dimiliki murid bisa ditumbuhkan secara optimal. Dengan adanya unas, maka segenap daya dan usaha sekolah dan murid hanyalah terfokus pada mengembangkan sisi kognitif, dan itu pun hanya untuk beberapa mata pelajaran saja.
Di banyak sekolah, untuk murid-murid kelas tiga hanya diberi pelajaran-pelajaran yang di-unas-kan saja. Pelajaran non unas diberikan asal-asalan. Begitu juga dengan muridnya. Waktu, tenaga dan dana yang mereka miliki hanya untuk mempelajari pelajaran-pelajaran unas. Pelajaran lain, mereka abaikan. Alasanya, tidak mempengaruhi kelulusan.
Bukankah dengan begitu berarti adanya unas telah mengorbankan ( membunuh ) kecerdasan lain yang dimiliki murid ? Padahal kecerdasan lain itu sangat berguna untuk hidup di masyarakat. Justru, kecerdasan yang diukur oleh unas nyaris tidak ada gunanya di dunia kerja mau pun masyarakat umum. Coba saja, mana ada perusahaan yang menerima pekerja dengan melihat nilai unas dari calon pekerja tersebut. Demikian juga untuk hidup di masyarakat, pelajaran-pelajaran yg di-unas-kan sangat kecil relevansinya.
Jadi, kita patut heran, mengapa pemerintah terus ngotot mengadakan unas ?
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengemukakan apa yang disampaikan oleh sosiolog Imam Prasodjo di dalah satu TV swasta. Kira-kira begini singkatnya :”Sebelum pemerintah melakukan standardisasi pada murid-murid, harusnya melakukan standardisasi terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pemerintah harus melengkapi fasilitas-fasilitas yang kurang standard di sekolah-sekolah. Jika belum mampu melakukan upaya melengkapi fasilitas pendidikan yang ada hingga mencapai standard, maka tidak selayaknya pemerintah melakukan standardisasi pada murid-murid.”
Dan jika belum mampu menstandardkan fasilitas pendidikan dan masih ngotot menstandardisasikan murid-murid, maka pengambil kebijakan yang ngotot tetap melaksanakan unas ini harus distandardkan dulu otaknya. Jangan-jangan mereka ini gradenya sebagai pengambil kebijakan memang di bawah standard.
artikel ini diambil dari facebook**
Read more!
Menjadi Manusia Pembelajar (Man of Learner)
Kalau kita menyimak dan memperhatikan perjalanan sejarah umat manusia, kita dapat menyimpulkan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar (man of learner). Buktinya, dalam banyak hal dan banyak bidang, pemahaman, pengertian dan penguasaan manusia tentang sesuatu obyek semakin baik dan sempurna. Itu artinya, seorang manusia atau sekelompok manusia dapat belajar dari generasi ke generasi, menerima transfer pengetahuan dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, tetapi kemudian sekaligus mampu mengoreksi dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang baru.
Nah, pada konteks inilah saya ingin memulai membahas tentang manusia pembelajar ini. Hal ini penting karena banyak pandangan telah keliru memahami hakekat belajar yang sesungguhnya.
Menurut memat saya, hakekat belajar memuat dua pola pembelajaran. Artinya hendaknya dalam proses belajar, kita memerlukan dan memperhatikan 2 jenis mata belajar. Jenis yang pertama, saya sebut sebagai belajar memahami, mengerti, menghayati sekaligus akhirnya menguasai suatu subyek pengetahuan atau keterampilan tertentu. Kedua, adalah jenis pembelajaran yang saya sebut dengan belajar bagaimana belajar (learn how to learn) atau boleh juga disebut dengan teknologi pembelajaran. Tujuan mempelajari teknologi pembelajaran ini adalah untuk menunjang jenis pembelajaran yang pertama sehingga dapat berlangsung dengan lebih tepat, cepat, efisien, dan mudah.
Apa yang kita pelajari dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan bidang-bidang ilmu yang makin terspesialisasi, adalah contoh-contoh dari pembelajaran jenis yang pertama itu. Cilakanya, porsi terbesar dari sistem pendidikan kita, dan banyak sistem pendidikan di negara-negara lain, khususnya dunia ketiga, pada saat ini adalah pembelajaran jenis yang pertama ini.
Paradigma yang dipergunakan adalah bila Anda tidak menguasai salah satu dari sekian banyak bidang-bidang ilmu/keterampilan yang makin terspesialisasi ini, jangan harap Anda dapat diterima, eksis, atau bahkan dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena penguasan salah satu disiplin ilmu ini menjadi syarat bagi, misalnya di dunia kerja, tidak peduli meskipun apakah kemudian yang menjadi pekerjaannya nanti sesuai dengan disiplin ilmunya atau tidak, terampil atau tidak. Yang penting punya ilmu yang dibuktikan dalam selembar kertas ijasah. Pembelajaran jenis pertama ini pada dasarnya adalah untuk mengisi kebutuhan dunia usaha/industri. Ini yang menjadi sebab banyak orang-orang sukses di dunia bisnis bukanlah mereka yang bergelar atau berpendidikan tinggi. Tetapi, justru orang-orang ”sekolahan” ini yang ”mengabdi” pada orang-orang ”sukses” yang tidak berpendidikan tinggi, tapi mereka kreatif, berani dan tidak terbebani oleh penjara pikiran dari pengetahuan yang diperolehnya di sekolah.
Untuk menjalankan paradigma atau pembelajaran jenis yang pertama ini, sebenarnya sangat mudah dan tidak perlu berpikir terlalu keras. Sebab suatu bangsa tidak perlu susah-susah melakukan riset, mengembangkan ilmu-ilmu baru, dan seterusnya karena ilmu-ilmu itu atau buku-buku yang diperlukan untuk menunjang jenis pembelajaran pertama ini relatif sudah tersedia dengan melimpah. Dan kita dengan mudah dapat mengimpornya dari luar negeri atau paling jauh menerjemahkan atau menulis ulang buku-buku karya pakar-pakar luar negeri.
Kemampuan tertinggi dari pembelajaran jenis pertama ini adalah diperolehnya kemampuan menjelaskan teori-teori yang dipelajarinya itu dengan sempurna, tanpa cela, persis seperti penciptanya. Itu saja dan tidak lebih. Tentu dengan perkecualian terhadap ilmu-ilmu rekayasa (engineering science), namun meski demikian, jumlahnya amat minim.
Pada dasarnya, pola pembelajaran jenis pertama ini tidak akan serta merta menjadi sebab berkembangnya ilmu-ilmu baru. Penyebab lahirnya ilmu-ilmu baru berada di luar jenis pembelajaran pertama ini. Pandangan ini jarang sekali dibahas atau dibicarakan oleh kebanyakan orang, bahkan para pakar sekalipun. Itu sebab kita sering berputar-putar pada persoalan-persoalan yang sama dan cenderung bertambah ruwet.
Akhirnya kita menghadap akibat atau dampat dari pola pembelajaran jenis ini ternyata cukup luas, dengan gambaran sebagai berikut :
1. Tidak jarang kita menjumpai 2 orang/kelompok atau lebih, dengan dasar teori yang sama, ternyata saling serang dan berselisih paham.
2. Kita cenderung tidak menjadi orang yang produktif karena kita sibuk ”belajar” ilmu-ilmu ciptaan orang lain, lupa mengembangkan ilmu sendiri.
3. Dalam iklim kompetitif, kita lebih cenderung untuk ”merebut” dan ”bersaing” (red ocean strategy) daripada berkreasi dan mengembangkan alternatif atau mengembangkan sesuatu yang baru (blue ocean strategy).
4. Terjebak pada cara berpikir menang-kalah (win-lose), sebagai pengaruh dari paradigma survival of the fittest dari teori evolusi Charles Darwin, dan dialektika materialism Marx, Engel dan Feurbach, ketimbang berpikir menang-menang (win-win).
5. Pada akhirnya banyak ilmuwan kita malas berpikir dan bekarya, malas menulis buku, apalagi melakukan riset.
6. Banyak ilmu-ilmu ”impor” yang tidak applicable atau diterapkan tanpa disesuaikan dengan kondisi negeri sendiri, sehingga Indonesia makin tergantung pada prinsipal (pemilik teknologi atau pemegang paten) di luar negeri.
7. Pemerintah pada akhirnya dengan berdalih anggaran, enggan membiayai program-program riset dan pengembangan ilmu. Pemerintah sepertinya lebih percaya ”produk” ilmu-ilmu karya pakar-pakar luar negeri (apalagi yang berbau barat), daripada karya anak bangsa sendiri.
8. Timbul budaya pikiran baru hasil dari budaya instan, yakni ”Ngapain susah-susah mikir, biar saja orang lain (baca: bangsa lain) yang mikir, kita tinggal beli produknya, bukunya, atau sekolahkan ke luar negeri, lalu kita tinggal pakai, beres deh!”
9. Ujungnya adalah kita jadi bangsa yang tidak produktif, tidak kreatif, dan tidak inovatif dalam segala bidang. Meminjam istilah (sindiran) Cak Nur (Dr. Nurcholis Madjid, Alm.) yang disampaikan pada saat diskusi di Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI) Surabaya pada 1991 (yang kebetulan penulis pada saat itu adalah Ketua Umumnya), bahwa bangsa Indonesia pada pada saat ini adalah bangsa yang ’simple minded nation’ (bangsa yang berpikirnya sederhana), dan cenderung ”konsumtif” terhadap ilmu-ilmu karya ilmuwan-ilmuwan luar negeri (barat). Lebih lanjut Cak Nur mengatakan bahwa apabila kita ingin Indonesia menjadi bangsa yang produktif (dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi), kita harus memiliki energi yang besar mendorong potensi sumber daya manusia menjadi manusia-manusia yang berkualitas, cerdas dan kreatif. Caranya? Cak Nur bilang kembangkan budaya membaca.
10. Dan banyak lagi daftar konsekuensi yang bisa Anda tambahkan disini.
Itulah potret kita hari ini. Kalau disimpulkan dalam perspektif negatif, kita sebenarnya sedang menjalani sebuah proses pengerdilan dan pembodohan besar-besaran agar kita tidak mampu menjadi bangsa yang produktif dan mandiri dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pada akhirnya kita hanya boleh menjadi bangsa coeli di negeri sendiri. Anda mau?
Itulah penting dan perlunya kita belajar pola pembelajaran jenis yang kedua. Kita akan bahas jenis pembelajaran kedua ini pada diskusi yang akan datang. Yang jelas, Anda semua pasti tidak ingin bangsa kita menjadi bangsa yang bodoh dan dapat dibodohi oleh bangsa lain. Kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, insya Allah. Ini bukan basa-basi. Persoalannya terletak pada bagaimana citra diri bangsa yang besar ini tertanam dalam sanubari kita, dan melandasi semangat dan motivasi untuk mewujudkannya.
Bangsa kita sudah membuktikan bahwa kita bisa bikin pesawat terbang dengan tokohnya BJ Habibie. Di dunia auronotik ini, kita akan menjumpai Formula, Konstanta dan Postulat Habibie. Kita juga punya ahli chip analog, Dr. Sutahat, yang juga CEO Marvel Inc, produsen chip yang chipnya tertanam dalam jutaan ponsel di seluruh dunia. Kita juga mempunyai bibit-bibit unggul yang sangat potensial di bidang science yang menjadi jawara-jawara di olimpiade-olimpiade science internasional.
Kalau diberi atau ada kesempatan, sebenarnya kita mampu. Karena itu, kita harus optimis bahwa sekalipun kita masih berada di tengah keterpurukan pasca reformasi, bahkan carut marut bangsa kita belakangan ini yang cukup memprihatinkan, kebangkitan bangsa kita pasti masih bisa diwujudkan! Kita harus belajar mengambil hikmah dari apa yang terjadi pada bangsa kita saat ini. Kemudian tatap masa depan, dan berbuatlah yang terbaik untuk bangsa kita.
Bagaimana menurut Anda?
Artikel ini ditulis Oleh Bagus Teruno Legowo **
Read more!
Nah, pada konteks inilah saya ingin memulai membahas tentang manusia pembelajar ini. Hal ini penting karena banyak pandangan telah keliru memahami hakekat belajar yang sesungguhnya.
Menurut memat saya, hakekat belajar memuat dua pola pembelajaran. Artinya hendaknya dalam proses belajar, kita memerlukan dan memperhatikan 2 jenis mata belajar. Jenis yang pertama, saya sebut sebagai belajar memahami, mengerti, menghayati sekaligus akhirnya menguasai suatu subyek pengetahuan atau keterampilan tertentu. Kedua, adalah jenis pembelajaran yang saya sebut dengan belajar bagaimana belajar (learn how to learn) atau boleh juga disebut dengan teknologi pembelajaran. Tujuan mempelajari teknologi pembelajaran ini adalah untuk menunjang jenis pembelajaran yang pertama sehingga dapat berlangsung dengan lebih tepat, cepat, efisien, dan mudah.
Apa yang kita pelajari dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi dengan bidang-bidang ilmu yang makin terspesialisasi, adalah contoh-contoh dari pembelajaran jenis yang pertama itu. Cilakanya, porsi terbesar dari sistem pendidikan kita, dan banyak sistem pendidikan di negara-negara lain, khususnya dunia ketiga, pada saat ini adalah pembelajaran jenis yang pertama ini.
Paradigma yang dipergunakan adalah bila Anda tidak menguasai salah satu dari sekian banyak bidang-bidang ilmu/keterampilan yang makin terspesialisasi ini, jangan harap Anda dapat diterima, eksis, atau bahkan dapat hidup di tengah-tengah masyarakat. Mengapa? Karena penguasan salah satu disiplin ilmu ini menjadi syarat bagi, misalnya di dunia kerja, tidak peduli meskipun apakah kemudian yang menjadi pekerjaannya nanti sesuai dengan disiplin ilmunya atau tidak, terampil atau tidak. Yang penting punya ilmu yang dibuktikan dalam selembar kertas ijasah. Pembelajaran jenis pertama ini pada dasarnya adalah untuk mengisi kebutuhan dunia usaha/industri. Ini yang menjadi sebab banyak orang-orang sukses di dunia bisnis bukanlah mereka yang bergelar atau berpendidikan tinggi. Tetapi, justru orang-orang ”sekolahan” ini yang ”mengabdi” pada orang-orang ”sukses” yang tidak berpendidikan tinggi, tapi mereka kreatif, berani dan tidak terbebani oleh penjara pikiran dari pengetahuan yang diperolehnya di sekolah.
Untuk menjalankan paradigma atau pembelajaran jenis yang pertama ini, sebenarnya sangat mudah dan tidak perlu berpikir terlalu keras. Sebab suatu bangsa tidak perlu susah-susah melakukan riset, mengembangkan ilmu-ilmu baru, dan seterusnya karena ilmu-ilmu itu atau buku-buku yang diperlukan untuk menunjang jenis pembelajaran pertama ini relatif sudah tersedia dengan melimpah. Dan kita dengan mudah dapat mengimpornya dari luar negeri atau paling jauh menerjemahkan atau menulis ulang buku-buku karya pakar-pakar luar negeri.
Kemampuan tertinggi dari pembelajaran jenis pertama ini adalah diperolehnya kemampuan menjelaskan teori-teori yang dipelajarinya itu dengan sempurna, tanpa cela, persis seperti penciptanya. Itu saja dan tidak lebih. Tentu dengan perkecualian terhadap ilmu-ilmu rekayasa (engineering science), namun meski demikian, jumlahnya amat minim.
Pada dasarnya, pola pembelajaran jenis pertama ini tidak akan serta merta menjadi sebab berkembangnya ilmu-ilmu baru. Penyebab lahirnya ilmu-ilmu baru berada di luar jenis pembelajaran pertama ini. Pandangan ini jarang sekali dibahas atau dibicarakan oleh kebanyakan orang, bahkan para pakar sekalipun. Itu sebab kita sering berputar-putar pada persoalan-persoalan yang sama dan cenderung bertambah ruwet.
Akhirnya kita menghadap akibat atau dampat dari pola pembelajaran jenis ini ternyata cukup luas, dengan gambaran sebagai berikut :
1. Tidak jarang kita menjumpai 2 orang/kelompok atau lebih, dengan dasar teori yang sama, ternyata saling serang dan berselisih paham.
2. Kita cenderung tidak menjadi orang yang produktif karena kita sibuk ”belajar” ilmu-ilmu ciptaan orang lain, lupa mengembangkan ilmu sendiri.
3. Dalam iklim kompetitif, kita lebih cenderung untuk ”merebut” dan ”bersaing” (red ocean strategy) daripada berkreasi dan mengembangkan alternatif atau mengembangkan sesuatu yang baru (blue ocean strategy).
4. Terjebak pada cara berpikir menang-kalah (win-lose), sebagai pengaruh dari paradigma survival of the fittest dari teori evolusi Charles Darwin, dan dialektika materialism Marx, Engel dan Feurbach, ketimbang berpikir menang-menang (win-win).
5. Pada akhirnya banyak ilmuwan kita malas berpikir dan bekarya, malas menulis buku, apalagi melakukan riset.
6. Banyak ilmu-ilmu ”impor” yang tidak applicable atau diterapkan tanpa disesuaikan dengan kondisi negeri sendiri, sehingga Indonesia makin tergantung pada prinsipal (pemilik teknologi atau pemegang paten) di luar negeri.
7. Pemerintah pada akhirnya dengan berdalih anggaran, enggan membiayai program-program riset dan pengembangan ilmu. Pemerintah sepertinya lebih percaya ”produk” ilmu-ilmu karya pakar-pakar luar negeri (apalagi yang berbau barat), daripada karya anak bangsa sendiri.
8. Timbul budaya pikiran baru hasil dari budaya instan, yakni ”Ngapain susah-susah mikir, biar saja orang lain (baca: bangsa lain) yang mikir, kita tinggal beli produknya, bukunya, atau sekolahkan ke luar negeri, lalu kita tinggal pakai, beres deh!”
9. Ujungnya adalah kita jadi bangsa yang tidak produktif, tidak kreatif, dan tidak inovatif dalam segala bidang. Meminjam istilah (sindiran) Cak Nur (Dr. Nurcholis Madjid, Alm.) yang disampaikan pada saat diskusi di Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI) Surabaya pada 1991 (yang kebetulan penulis pada saat itu adalah Ketua Umumnya), bahwa bangsa Indonesia pada pada saat ini adalah bangsa yang ’simple minded nation’ (bangsa yang berpikirnya sederhana), dan cenderung ”konsumtif” terhadap ilmu-ilmu karya ilmuwan-ilmuwan luar negeri (barat). Lebih lanjut Cak Nur mengatakan bahwa apabila kita ingin Indonesia menjadi bangsa yang produktif (dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi), kita harus memiliki energi yang besar mendorong potensi sumber daya manusia menjadi manusia-manusia yang berkualitas, cerdas dan kreatif. Caranya? Cak Nur bilang kembangkan budaya membaca.
10. Dan banyak lagi daftar konsekuensi yang bisa Anda tambahkan disini.
Itulah potret kita hari ini. Kalau disimpulkan dalam perspektif negatif, kita sebenarnya sedang menjalani sebuah proses pengerdilan dan pembodohan besar-besaran agar kita tidak mampu menjadi bangsa yang produktif dan mandiri dalam segala bidang, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya, pada akhirnya kita hanya boleh menjadi bangsa coeli di negeri sendiri. Anda mau?
Itulah penting dan perlunya kita belajar pola pembelajaran jenis yang kedua. Kita akan bahas jenis pembelajaran kedua ini pada diskusi yang akan datang. Yang jelas, Anda semua pasti tidak ingin bangsa kita menjadi bangsa yang bodoh dan dapat dibodohi oleh bangsa lain. Kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, insya Allah. Ini bukan basa-basi. Persoalannya terletak pada bagaimana citra diri bangsa yang besar ini tertanam dalam sanubari kita, dan melandasi semangat dan motivasi untuk mewujudkannya.
Bangsa kita sudah membuktikan bahwa kita bisa bikin pesawat terbang dengan tokohnya BJ Habibie. Di dunia auronotik ini, kita akan menjumpai Formula, Konstanta dan Postulat Habibie. Kita juga punya ahli chip analog, Dr. Sutahat, yang juga CEO Marvel Inc, produsen chip yang chipnya tertanam dalam jutaan ponsel di seluruh dunia. Kita juga mempunyai bibit-bibit unggul yang sangat potensial di bidang science yang menjadi jawara-jawara di olimpiade-olimpiade science internasional.
Kalau diberi atau ada kesempatan, sebenarnya kita mampu. Karena itu, kita harus optimis bahwa sekalipun kita masih berada di tengah keterpurukan pasca reformasi, bahkan carut marut bangsa kita belakangan ini yang cukup memprihatinkan, kebangkitan bangsa kita pasti masih bisa diwujudkan! Kita harus belajar mengambil hikmah dari apa yang terjadi pada bangsa kita saat ini. Kemudian tatap masa depan, dan berbuatlah yang terbaik untuk bangsa kita.
Bagaimana menurut Anda?
Artikel ini ditulis Oleh Bagus Teruno Legowo **
Read more!
Teori Agenda Setting
Dengan menggunakan teori ini peneliti bisa memilih apa yang hendak diteliti sehubungan dengan agenda media dan agenda publik sampai dengan pengaruh agenda media terhadap persepsi dan tindakan.
Asumsi dasar yang dicetuskan oleh Cohen (1963) ini menyatakan bahwa media membentuk persepsi atau pengeetahuan publik tentang apa yang dianggap penting. Dengan ungkapan lain, apa yang dianggap penting oleh media, maka dianggap penting juga oleh publik. Ada hubungan positif antara tingkat penonjolan yang dilakukan media terhdap suatu persoalan (issue) dan perhatian yang diberikan publik terhadap yang ditonjolkan media.
The media may be not successful at telling people what to think (i.e. attitude), but they are stunningly successful in telling its audience what to think about.
Tingkat pentingnya suatu berita ataau issue dapat ditunjukkan dengan penampakan yang menonjol (head-line, halaman pertama, judul yang mencolok, frekuensi pemusatan, rubrik-rubrik utama atau penyajian yang memiliki nilai berita yang tinggi (konflik).
Jika seseorang ingin melakukan penelitian dengan menggunakan teori agenda Setting, atau hendak mengetest kembali kebenaran teori ini, maka peneliti melakukaan frekuensi, volume, durasi isi emdia (issuee), sedang agenda publik diukur dari penuturaan publik tentang perringkat sejumlah isssue di media.
The researcher must compare "what the press is thinking about" to what the members of the audience are "thinking about"
Ada 6 konsep yang dapat diteliti jika seseoraang menggunakan Teori agenda setting dalam penelitiannya. Ddengan menggunakan tteori agenda setting peneliti dapat meneliti tentang perbandingan antara agenda media dengan agenda publik baik dalam bentuk: 1) intrapersonal, 2) interpersonal, 3) community salience (penonojolan oleh masyarakat), 4) priority (kesesuaian antara yang ditonjolkan media dan yang ditonjolkan publik), efek lanjutan (subsequent effect) berrupa 5) perception (pengetahuan tentang sajian media) atau 6) tindakan (action) misalnya berupa tindakan memilih presiden tertentu, berrunjuk rasa, (memprotes, memberi dukungan), aktif memberri suara daalam pemilu, setelag diterpa pesan media. Dengan demikian maka peneliti dapat mengetahui (Rakhmat, 1989: 93-94):
a. apa yang dipikirkan publik (intrapersonal)
b. apa yang dibicarakan orang dengan orang lain (interpersonal)
c. issue apa yang banyak dibicarakan oleh komunitas (community salience)
d. tingkat kesesuaian antara ranking penonjolan issue di media dan perhatian publik (prioritas)
e. Efek langsung yang berkaitan dengan issues, dalam arti ada atau tidak adanya agenda publik (pengenalan)
f. Efek lanjutan, penelitian dari segi persepsi atau tindakan sseperrti memilih presiden. Dengan ungkapan lain, sampai sejauh mana penonjolan issues di media memiliki efek terhadap persepsi atau tindakan. Misalnya, penonjolan issue positif terttentu dari kandidaat presiden dapat berefek munculnya persepsi positif terhadap kandidaat presiden dan berefek pula padda tindakan memilih kandidat presiden tertentu.
Beberapa penelitian tentang pemilihan presiden menemukana danya kontradiksi tentang adanya korelasi positif antara kedua variabel agenda media dan agenda publik, karena ada karakteristik sosial dan motivasi pemilih. Pemilih yang mempunyai tingkat pendidikan dan status pekerjaan tinggi, pengetahuan politis awal dan orang yang tertarik pada kampanye pemilihan, sangat kecil dipengaruhi agenda setting media.
Teori Agenda Setting
Kampanye pemilihan presiden 2004 di Indonesia diwarnai oleh adanya regulasi tentang pembatasan durasi dan frekuensi iklan kampanye calon presiden di TV. Kandidat yang mempunyai persediaan dana banyak cenderung akan menggunakan emdia lebih banyak. Pemasangan iklan kampanye di media masa seperti koran atau terutama di televisi diharapkan menambah pengetahuan khalayak tentang apa yang diiklankan. Melalui iklan di televisi masyarakat akan lebih mengenal kandidat presiden. Iklan tentang program kerja seorang kandidaat presiden di media massa diasumsikan akan banyak dibicarakan atau didiskusikan oleh masyarakat. Pesan-pesan kampanye sseorang kandidat presiden di media massa diharapkan mendapat perhatiaan, kemudian khalayak membangun presepsi tertentu lalu bertindak memberikan suara kepada kandidaat tersebut atau tidak.
Dari fenomena tersebut belum diketahui berapa besar pengaruh efek-lanjutan terpaan iklan kampanye pemilihan presiden terhadap persepsi dan tindakan mahasiswa FISIP jurusan Ilmu komunikasi di Universitas X dalam memberi suarra terhadap calon presiden tertentu. **001722**
Read more!
Asumsi dasar yang dicetuskan oleh Cohen (1963) ini menyatakan bahwa media membentuk persepsi atau pengeetahuan publik tentang apa yang dianggap penting. Dengan ungkapan lain, apa yang dianggap penting oleh media, maka dianggap penting juga oleh publik. Ada hubungan positif antara tingkat penonjolan yang dilakukan media terhdap suatu persoalan (issue) dan perhatian yang diberikan publik terhadap yang ditonjolkan media.
The media may be not successful at telling people what to think (i.e. attitude), but they are stunningly successful in telling its audience what to think about.
Tingkat pentingnya suatu berita ataau issue dapat ditunjukkan dengan penampakan yang menonjol (head-line, halaman pertama, judul yang mencolok, frekuensi pemusatan, rubrik-rubrik utama atau penyajian yang memiliki nilai berita yang tinggi (konflik).
Jika seseorang ingin melakukan penelitian dengan menggunakan teori agenda Setting, atau hendak mengetest kembali kebenaran teori ini, maka peneliti melakukaan frekuensi, volume, durasi isi emdia (issuee), sedang agenda publik diukur dari penuturaan publik tentang perringkat sejumlah isssue di media.
The researcher must compare "what the press is thinking about" to what the members of the audience are "thinking about"
Ada 6 konsep yang dapat diteliti jika seseoraang menggunakan Teori agenda setting dalam penelitiannya. Ddengan menggunakan tteori agenda setting peneliti dapat meneliti tentang perbandingan antara agenda media dengan agenda publik baik dalam bentuk: 1) intrapersonal, 2) interpersonal, 3) community salience (penonojolan oleh masyarakat), 4) priority (kesesuaian antara yang ditonjolkan media dan yang ditonjolkan publik), efek lanjutan (subsequent effect) berrupa 5) perception (pengetahuan tentang sajian media) atau 6) tindakan (action) misalnya berupa tindakan memilih presiden tertentu, berrunjuk rasa, (memprotes, memberi dukungan), aktif memberri suara daalam pemilu, setelag diterpa pesan media. Dengan demikian maka peneliti dapat mengetahui (Rakhmat, 1989: 93-94):
a. apa yang dipikirkan publik (intrapersonal)
b. apa yang dibicarakan orang dengan orang lain (interpersonal)
c. issue apa yang banyak dibicarakan oleh komunitas (community salience)
d. tingkat kesesuaian antara ranking penonjolan issue di media dan perhatian publik (prioritas)
e. Efek langsung yang berkaitan dengan issues, dalam arti ada atau tidak adanya agenda publik (pengenalan)
f. Efek lanjutan, penelitian dari segi persepsi atau tindakan sseperrti memilih presiden. Dengan ungkapan lain, sampai sejauh mana penonjolan issues di media memiliki efek terhadap persepsi atau tindakan. Misalnya, penonjolan issue positif terttentu dari kandidaat presiden dapat berefek munculnya persepsi positif terhadap kandidaat presiden dan berefek pula padda tindakan memilih kandidat presiden tertentu.
Beberapa penelitian tentang pemilihan presiden menemukana danya kontradiksi tentang adanya korelasi positif antara kedua variabel agenda media dan agenda publik, karena ada karakteristik sosial dan motivasi pemilih. Pemilih yang mempunyai tingkat pendidikan dan status pekerjaan tinggi, pengetahuan politis awal dan orang yang tertarik pada kampanye pemilihan, sangat kecil dipengaruhi agenda setting media.
Teori Agenda Setting
Kampanye pemilihan presiden 2004 di Indonesia diwarnai oleh adanya regulasi tentang pembatasan durasi dan frekuensi iklan kampanye calon presiden di TV. Kandidat yang mempunyai persediaan dana banyak cenderung akan menggunakan emdia lebih banyak. Pemasangan iklan kampanye di media masa seperti koran atau terutama di televisi diharapkan menambah pengetahuan khalayak tentang apa yang diiklankan. Melalui iklan di televisi masyarakat akan lebih mengenal kandidat presiden. Iklan tentang program kerja seorang kandidaat presiden di media massa diasumsikan akan banyak dibicarakan atau didiskusikan oleh masyarakat. Pesan-pesan kampanye sseorang kandidat presiden di media massa diharapkan mendapat perhatiaan, kemudian khalayak membangun presepsi tertentu lalu bertindak memberikan suara kepada kandidaat tersebut atau tidak.
Dari fenomena tersebut belum diketahui berapa besar pengaruh efek-lanjutan terpaan iklan kampanye pemilihan presiden terhadap persepsi dan tindakan mahasiswa FISIP jurusan Ilmu komunikasi di Universitas X dalam memberi suarra terhadap calon presiden tertentu. **001722**
Read more!
Langganan:
Postingan (Atom)