Kumpulan puisi AKU INGIN JADI PELURU, merupakan karya Wiji Thukul, penerbit INDONESIATERA
Hanya satu kata, lawan! kalimat pendek itu lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul, penyair yang menuliskan puisi perlawanan tersebut. Hanya satu kata, lawan! Telah menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya. Yaitu sebuah kekuatan melawan rejim, otoritarianisme. Ia telah menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan.
Membaca puisi Wiji Thukul adalah membaca otobiografi kejiwaan penyair. Dia menceritakan nasib jutaan rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh proses pembangunan yang terlalu menguntungkan kaum elitnya (Arief Budiman).
Wiji Thukul telah membangun kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia. Dia membangunkan kita untuk membaca puisi. Dia membangunkan kesadaran seniman untuk berbuat sesuatu. Dia membangunkan keluarga korban untuk tidak menyerrah, meski pada akhirnya ia menjadi korrban dari aktivitas yang ia lakukan. (Todung Mulya Li\ubis, Kompas, 11/12/2002)
Wiji sudah selayaknya mendapat penghargaan pertama-tama dan utama atas apa yang dilakukannya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Penghaargaan ini juga menjadi lonceng peringatan bagi kita semua bahwa penghilangan orang secara paksa adalah kejahatan yang masih berlangsung. Lonceng yang mengingatkan bahwa kita seemua berrutang kepada keluarga, sahabat, dan kekasih dari orang yang dihilangkan di negeri ini. Tentulah jangan dilupakan bahwa yang paling berutang adalah negara, terutama pemerintah. (Asmara Nababan, Kompas, 11/12/2002)
Wiji Thukul menjadi reminder (pengingat) bahwa masalah orrang hilang di Indonesia masih terjadi dan belum terselesaikan hingga saat ini, meskipun kita sudah memasuki alam demokrasi. (Azyumardi Azra, Kompas, 11/12/2002).#
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar