Menggugat Komite Sekolah

Jika ada wakil masyarakat/rakyat yang paling sering “dipisuhi” rakyat yang diwakilinya, selain DPR, adalah Komite Sekolah. Betapa tidak, keberadaannya banyak disinyalir sebagai aktor dibalik mahalnya biaya pendidikan di Republik tercinta ini. Peranan utamanya tak lebih dari sekadar “tukang legitimasi” segala kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah, terutama untuk mengutip dana dari orangtua siswa.
Eksistensi komite sekolah dibentuk atas dasar Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002. Tujuan pembentukan komite sekolah adalah mewadahi, menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, meningkatkan tanggung jawab dan peran serta aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, serta menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan serta pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Jika dilihat tujuan di atas, mestinya komite sekolah sebagai wadah untuk menyalurkan berbagai kepentingan dan aspirasi masyarakat berkaitan dengan pendidikan generasi muda dan mendorong manajemen keuangan sekolah yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Dengan peran ini, keberadaan komite sekolah mestinya justru bisa menekan berbagai penyimpangan, terutama keuangan, yang menyebabkan mahalnya biaya sekolah.
Tetapi, de facto, keberadaan komite sekolah tak lebih dari sekadar “legitimator” ambisi kepala sekolah untuk mengeruk uang masyarakat demi kantong pribadinya. Pernah saya mengikuti rapat yang diadakan oleh pihak sekolah dan komite sekolah pada saat anak saya baru masuk SMPN. Setelah “orang-orang yang dianggap penting” berpidato, yang intinya menghimbau semua wali murid hendaknya mendukung program-program yang diadakan sekolah, sampailah pada acara yang sudah diperkirakan sebelumnya, ketua komite sekolah membacakan sejumlah rupiah yang harus dibayar oleh wali murid. Jumlah rupiah tersebut terdiri dari dua item. Pertama, yang harus dibayar pada saat awal tahun ajaran. Konon, berdasarkan kesepakatan antara pengurus komite dengan pihak sekolah , dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan sekolah dalam bentuk berbagai pembangunan fisik. Kedua, wali murid juga harus membayar “uang komite sekolah” setiap bulan. Dalih penarikan dana yang kedua ini adalah untuk membantu biaya opreasional sekolah karena dana dari pemerintah sangat tidak mencukupi.
Lucunya, salah satu pos pembiayaan yang terdapat pada item kedua tersebut adalah untuk menambah tunjangan kepala sekolah dan struktural di bawahnya. Kontan saja dalih ini disambut protes para wali murid.
“Bukankah kepala sekolah dan lainnya itu sudah mendapat tunjangan dari pemerintah, mengapa masih minta tunjangan ke kita ?” tanya beberapa wali murid.
“Dengan penambahan tunjangan ini supaya Bapak kepala sekolah dan struktural lainnya tidak korupsi.” Jawab ketua komite dengan meyakinkan.
Tentu saja jawaban ini disambut tawa para hadirin rapat. “Memangnya sebelum kalau tidak ada uang tambahan dari kita, mereka suka korupsi ya ?” Celetuk salah seorang dari peserta rapat.
“Saudara-saudara, ini serius,” ketua komite berusaha meyakinkan lagi. “Hal ini telah kami bahas dengan pihak sekolah. Kesepakatannya memang demikian. Kami mohon dengan hormat, saudara-saudara sepakat dengan kami.”
Akhirnya, dengan berbagai adu argumen yang sangat alot, keputusan komite sekolah diterima peserta rapat tanpa perubahan 1 cm pun. Meski dengan hati yang tidak rela, para orang tua murid mau menerima keputusan tersebut.

Penyebab Lemahnya Peran Komite Sekolah
Begitulah umumnya peranan komite sekolah diberbagai tempat. Mereka yang seharusnya menjadi wadah penampung aspirasi masyarakat, justru menjadi corong kepentingan oknum-oknum pengelola sekolah. Mengapa ini bisa terjadi ?
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab komite sekolah tidak mampu menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Pertama, sosialisasi yang buruk. Hasil riset Indonesia CorruptionWatch di Jakarta pada 2003, 58 persen guru dan59,9 persen orang tua siswa menganggap komite sama dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3); Bahkan 37,6 persen orangtua siswa belum pernah mendengar komite. (Koran Tempo: 07/12/04).
Buruknya sosialisasi tersebut akibat masih bersifat topdown. Jalur yang dipakai adalah jalur birokrasi. Dari Departemen Pendidikan Nasional keDinas Pendidikan di provinsi maupun kabupaten/kota, lalu ke dinas kecamatan, setelah itu ke kepala sekolah. Cara lain, mengumpulkan kepala sekolah lalu ditatar, selama beberapa hari. Harapannya, kepala sekolah mengerti dan kemudian menatar guru guru di sekolahnya.
Sedangkan para wali murid maupun pengurus komite sekolah hanya diberitahu secara lisan oleh kepala sekolah atau unsur lain dari masing-masing sekolah. Selain melalui cara tersebut, Depdiknas memang melakukan sosialisasi melalui berbagai televisi. Namun waktunya terlalu singkat dan isinya tidak terlalu jelas. Akibatnya, layanan melalui televisi ini tidak menambah pemahaman masyarakat akan peran komite sekolah.
Faktor kedua adalah komite sekolah dibentuk oleh kepala sekolah. Dengan mekanisme pembentukan seperti itu, bisa diduga bahwa mereka yang diangkat sebagai pengurus komite adalah orang-orang yang dipandang “manut” oleh kepala sekolah. Karena diangkat oleh kepala sekolah, mana mungkin mereka dapat menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan kepala sekolah. Alih-alih menjadi penyeimbang, keberadaannya justru dijadikan “alat” oleh kepala sekolah untuk menarik dana orangtua siswa.
Dengan realita seperti digambarkan di atas, menjadikan sekolah memproyekkan berbagai program sekolah. Akibatnya, ruang untuk melakukan korupsi menjadi terbuka karena tujuan proyek yang bagus digantikan oleh tujuan untuk memperoleh keuntungan para birokrasi pelaksana. Dengan skenario seperti ini, secara tidak sadar, keberadaan komite sekolah dijadikan “bumper” oleh pihak sekolah atas masalah mahalnya biaya pendidikan.

Manajemen Berbabasis Sekolah
Penerapan manajemen berbasis sekolah menjadikan sekolah lebih otonom, tidak lagi menjadi subordinat dari pemerintah maupun yayasan. Pendekatannya pun tidak birokratis lagi, melainkan profesional. Penyelenggara sekolah menjadi lebih leluasa dalam mengelola anggaran pendidikan di sekolah.
Untuk membuat perimbangan bagi otonomi sekolah ( kepala sekolah ) tersebut, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 di atas. Adanya keleluasaan gerak kepala sekolah dalam mengelola anggaran dan Keputusan Mendikans tersebut menyebabkan peranan komite sekolah menjadi besar dan memiliki posisi tawar yang tinggi. Sebab, semua keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan selalu memberdayakan semua pihak (stakeholder).
Dengan begitu, masyarakat melalui komite sekolah berhak mengetahui berbagai kucuran dana yang mengalir ke sekolah, sehingga transparansi dan akuntabilitas dapat diwujudkan. Di samping itu, keberadaan komite juga berfungsi sebagai watchdog bagi pelaksanaan pelayanan pendidikan di sekolah. Masyarakat, sebagai salah satu penyandang dana pendidikan untuk sekolah, dapat melakukan teguran melalui komite sekolah apabila pelayanan dari sekolah tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Dan masih seabrek fungsi lainnya. Yang kesemuanya bisa disebut sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat satuan pendidikan.
“Akan tethathi” berhubung adanya berbagai faktor seperti dikemukakan di atas, maka keberadaan komite sekolah hanyalah sekadar tukang stempel bagi kebijakan-kebijakan kepala sekolah. Jika hal ini tak segera dicari jalan keluarnya, maka fungsi dari komite sekolah akan sama dan sebangun dengan BP3 tempo hari.

Penguatan Peran Komite Sekolah
Supaya komite sekolah dapat melakukan peran sebagaimana mestinya, maka pertama-tama harus dilakukan sosialisasi yang benar kepada masyarakat luas. Yang jelas harus dihindari pemberian tugas sosialisasi tersebut oleh pihak sekolah. Sebaiknya, sosialisasi dilakukan oleh Depdiknas melalui berbagai media massa, khususnya televisi, secara intensif dan sejelas mungkin. Tidak seperti yang terjadi selama ini, sosialisasi melalui media massa dengan sangat singkat dan tidak jelas sama sekali, sehingga terkesan peran komite sekolah hanya sebagai wadah memobilisasi dana dari masyarakat. Selain itu, sosialisasi dapat dilakukan oleh pejabat kantor Diknas Kota atau Kecamatan pada saat pembentukan komite sekolah di sekolah-sekolah.
Berikutnya, pembentukan pengurus komite sekolah tidak lagi dilakukan oleh kepala sekolah. Pembentukan komite harus atas dasar pilihan dari seluruh orangtua siswa dengan dihadiri pejabat diknas baik dari tingkat kota atau kecamatan. Dengan mekanisme pembentukan seperti ini, komite sekolah akan lebih independen, sehingga dapat melakukan peran dan fungsinya tanpa bayang-bayang kekuasaan kepala sekolah. Barangkali dengan begitu ruang korupsi di sekolah dapat dipersempit.

sumber
Oleh : Rohadi Wicaksono
Mohon komentar ditulis di forum diskusi Beranda Komunitas Pendidikan.

Tidak ada komentar: