Pers Sebagai Sarana Kegiatan Jurnalistik

Pengertian Pers

istilah 'Pers' berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti Press. Secara harafiah, pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. nPers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran dan televisi siaran; sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada media massa cetak yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita.
Kenyataan bahwa radio dan televisi termasuk lingkup pers, ialah jika diadakan jumpa pers (press conference), maka yang meliput berita dalam pertemuan itu bukan hanya wartawan-wartawan surat kabar, majalah dan kantor berita, tetapi juga wartawan-wartawan radio dan televisi. hal ini disebabkan pada radio dan teknisi terdapat kegiatan-kegiatan jurnalistik yang hasilnya berbentuk berita seperti yang dimuat dalam media surat kabar.
Meskipun pers mempunyai dua pengertian seperti diterangkan di atas, tetapi pada umumnya orang menganggap pers itu media massa cetak: surat kabar dan majalah. Anggapan umum seperti itu disebabkan ciri khas yang terdapat pada media itu, dan tidak dijumpai pada media lain.
Ciri-ciri komunikasi massa, yakni komunikasi dengan menggunakan media massa adalah: prosesnya berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, medianya menimbulkan keserempakan, dan komunikannya hetterogen.
Ciri-ciri tersebut dipenuhi, baik oleh media massa cetak surat akbar dan majalah maupun oleh media massa elektronik radio dan televisi. Kendatipun demikian antara media massa cetak dan media masa elektronik itu terdapat perbedaan khass yakni pesan-pesan yang disiarkan media massa elektronik diterima oleh khalayak hanya skilas dan khalayak harus selalu berada di depan pesawat, sedangkan pesan-pesan yang disiarkan media cetak dapat diulang kaji dan dipelajari serta disimpan untuk dibaca pada setiap kesempatan.
Ciri-ciri khas itulah yang menyebabkan pesan-pesan yang disiarkan media massa elektronik harus mudah dicerna oleh pendengar dan pemirsa, sedangkan pesan-pesan yang disiarkan media massa cetak dapat canggih (sophisticated) dan ilmiah. Ciri-ciri khas itu pulalah yang seringkali menimbulkan polemik diantara para cendikiawan yang menyajikan pemikirannya melalui surat kabar atau majalah, dan tidak pernah terdapat pada uraian melalui radio dan televisi. Ciri-ciri khas itu pulalah yang menyebabkan media massa cetak lebih tinggi daya persuasinya daripada media massa elektronik, karena pesan-pesan persuasif melalui media cetak lebih banyak ditujukan kepada rasio atau pemikiran, sedangkan pesan-pesan persuasif melalui meddia elektronik lebih banyak ditujukan kepada perasaan.
yang akan dijadikan pokok pembahasan di sini adalah pers sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution); sebagai lembaga kemasyarakatan pers merupakan subsistem kemasyarakat dimana ia berada bersama-sama dengan sub sistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, melainkan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lemabga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karena eksistensi pers dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh falsafah dan ssistem politik negara dimana pers itu hidup.
Pers di negara mana dan di masyarakat mana ia berada bersama, mempunyai fungsi yang universal. Tetapi sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan, tergantung dari falsafah dan sisteem politik negara dimana pers itu beroperasi.
Fred S Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam bukunya yang terkenal berjudul Four Theories of the Press menyatakan bahwa pers di dunia sekaarrang dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:
a. authoritarian press
b. libertarian press
c. social responsibility press
d. soviet communist press
Tetapi diakui oleh ketiga pengarrang tersebut bahwa sebenarnya kalau kategori itu disebut teori, sovieet communist theory hanyalah perkembangan dari authoritarian theory, sedang apa yang disebut social responsibility theory hanyalah modifikasi dari libertarian theory.
Authoritarian theory menjadi dasar perkeembangan soviet communist theory yang tertua, yang muncul setelah mesin cetak ditemukan. Pada waktu itu apa yang disebut kebenaran (truth) adalah milik beberapa segelintir penguasa saja. karena itu, pers digunakan untuk memberi informasi kepadda raakyat mengenai apa yang fihak penguasa pikirkan; apa yang meereka inginkan, dan apa yang harus didukung oleh rakyat.
Dalam pada itu libertarian theory yang menjadi dasar modifikasi social responsibility theory merupakan kebalikan dari authoritarian theory dalam hal hubungan posisi manusia terhadap negara. Manusia tidak bisa lagi dianggap bebas untuk dipimpin dan diarahkan. Kebenaran bukan lagi milik penguasa. Hak untuk mencari kebenaran merupakan hak kodratiah manusia. dan pers dianggap sebagai partner dalam emncari kebenaran.
Untuk selama 200 tahun, pers Amerika dan Inggris menganut teori liberal ini. Bebas dari pengaruh pemerintah dan bertindak sebagai fourth estate (kekausaan keempat) dalam proses pemerintahan, setelah kekuasaan pertama: lembaga eksekutif, kekuasaan ekdua: lembaga legislatif, dan kekuasaaan ketiga: lembaga yudikatif.
dalam perkeembangan selanjutnya, pada abad ini muncul new authorritarianism di negara-negarra komunis, sedangkan di engara-negarra non komunis timbul new libertarianism, yang disebut social responsibility theory atau teori tanggung jawab sosial.
Di negara-negara yang menganut sistem demokrasi yang memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapatnya (free of expression), sampai sekarrang pers tetap dianggap sebagai 'fouth estate' sebagaimana disinggung di atas. Hal ini disebabkan daya persuasinya yang kuat dan pengaruhnya yang besar kepada masyarakat. Kata-kata Napoleon Boneparte: "Aku lebih takut pada empaat surat kabar yang terbit di paris daripada seratus serdadu dengan senapan bersangkur terhunus", sampai sekarang masih berlaku. pers diperlukan, tetapi juga ditakuti.
William L Rivers, Wilbur Schramm dan Clifford G Christians dalam bukunya Responsibility in Mas Communication, telah mengutip kata-kata Alexander Solzhenitsyn sbb: "The press has become the greatest power within western countries, more powerfull than th elegislature, the executive, and the judiciary. One would then like to ask: by what law has it been elected and to whom is it responsible?" ("Pers di negara-negara barat telah menjadi paling berkuasa, lebih berkuasa daripada lebislatif, eksekutif, dan yudikatof. Lalu tampaknya orang akan bertanya: dengan udnang-undang yang mana pers itu dipilih dan kepada siapa ia bertanggung jawab?").
Pandangan para cendikiawan Barat pada pers dengan penagaruhnya yang besar itu, terlalu berbobot pada kelembagaan formal. Memang pers tidak dipilih dengan undang-undang seperti halnya lembaga-lembaga yudikatof, legislatif, dan eksekutif; sebab pers adalah lembaga masyarakat. karena merupakan lembaga kemasyarakatan, pers mempunyai tanggung jawab sosial. Meskipun pers merupakan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan yang bertanggung jawab kepadda masyarkaat, tidak berarti ia tidak mempunyai tanggung jawab nasional (national responsibility); tanggung ajwab terhadap negara dan bangsa. Ini berarti bahwa memang pers akan membela masyarakat, bila pemerintah emlakukan tindakan yang merugikan masyarakat; akan tetapi bila negara dan bangsa menghadapi bahaya, pers akan membahasnya. Bagaimanapun juga dan dimanapun juga setiap wartawan sebagai pengelola pers masing-masing mempunyai tanggung jawab individual (individual responsibility) yang dalam menunaikan tugasnya mengabdi kepada masyarakat, pertama-tama beertanggung ajwab kepada dirinya pribadi. Apabila terjadi peerbedaan epndapat antara pers dan pemerintah yang sama-sama mengabdi kepada masyarakat itu, hal itu hanay disebabkan interpretasi yang tidak sama. Bagaimanapun juga pers yang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan idealisme--yang memang harus dimilikinya-- harus dan akan membenarkaan yang benarr dan menyalahkan yang salah, meskipun kebenaran sifatnya relatif. Dalam hubungan ini, yang penting adalah argumentasi. Baik pemerintah maupun massyarakat akan menilai pendapat peers dari itikadnya yang ditunjang oleh argumentasi.
Di negara merdeka, peers yang memiliki idealisme tiddak berarrti harus menentang pemeritnah untuk membela masyarakat; karena itu, idealisme yang disandang pers beerarti pula harus mendukung pemerintah; kalau perlu, memuji pemerintah, tetapi tetap dengan argumentasi sebagaimana disinggung di atas. Pers meerupakan subsistem dari sistem pemeritnah dimana pers itu beroperasi. Karena pemerintah dilandasi konstitusi, maka landasan dasar operasi pers pun adalah konstitusi.
Akan tetapi, bagaimana pun juga baiknya pelaksanaan pemerintahan, tidak dapat dipastikan tidak ada kekurangan atau kesalahan. Karena itu, secara konstitusional ada lembaga legislatif dan lemabga yudikatif yang mengawasinya. Dan bagaimana pun juga telitinya pengawasan yang dilakukan kedua lembaga tersebut, belum tentu juga tidak ada yang terawasi. Dalam hubungan inilah pers sebagai wakil masyarakat dengan 'kekuasaannya' itu, mengawasi tindakan keetiga lembaga tadi dengan memberikan peringatan, jika ternyata tidak sesuai atau menyimpang dari konstitusi. Demikian pengertian beserta ciri-ciri pers ditinjau secara umum. Seperti dikatakan di muka sistem pers di suatu negara ditentukan oleh sistem pemerintahan dari negara dimana pers itu melakukan kegiatannya.

Bagaimana dengan peers di Indonesia?
Mengenai fungsi pers di Indonesia sudah jelas landasan dan pedomannya, di samping fungsi pers secara universal sebagaimana dipaparrkan di atas. Hal tersebut dapat dikaji dalam pasal 2 UU No. 11 Tahun 1966 yang kemudian ditambah dengan ayat baru berrdasarkan UU No. 21 Tahun 1982, sehingga beerbunyi sbb:
1) "Pers nasional adalah alat perjuangan nassioal dan merupakan mass media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi ekmasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya pikir kritis dan progresif meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat"
2) "dalam rangka menignkatkan peranannya dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan aspirai rakytat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikemabngkan interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat.

Rumusan fungsi peers Indonesia yang dituangkan dalam UU tersebut, selain telah memenuhi fungsi pers secara universal, juga menunjukkan bahwa pers Indonesia memiliki identitas mandiri, yakni pers pembangunan yang dilandasi interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat. Perkataan "interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat" dalam diktum UU tersebut mempunyai makna yang dalam, yang selain perlu dihayati, juga direalisasikan oleh insan-insan pers Indonesia.
Putusan Dewan Pers No. 79/XIV/1974 tentang Pedoman Pembinaan Idiil Pers, yang antara lain menyebutkan bahwa kebebasan pers di Indonesia berlandaskan, masing-masing seginya, di bawah ini:
a. idiil : pada Pancasila
b. konstitusional : pada UUD 1945 dan Tap MPR
c. strategis : pada GBHN
d. Yuridis : UU tentnag ketentuan-ketentua pokok pers
e. kemasyarakatan : pada tata nilai sosial yang berlaku pada masyarakat Indonesia
f. etis : pada norma-norma kode etik profesional

Pers sebagai media komunikasi massa merupakan subsitem kemasyarakatan dari sistem kemasyarakatan yang kompleks. Karenanya pertautan (relationship) komponen-komponen yang terlibat dalam pekerjaan pers menjadi kompleks pula.
Komponen perrtama addalah pers itu sendiri sebagai lembaga dan sebagai media. Lembaga peers banyak pertautannya seperti Surat Izin Terbit, UUD 1945, UU Pers, KUHP, peerpajakan, perburuhan, pembiayaan dan sebagainya.
komponen kedua addalah apa yang dalam 'bahasa komunikasi' disebut komunikator. Komunikator terdiri dari wartawan yang mengelola berita, tajuk rencana atau pojok dan khalayak penulis artikel, pengisi 'ruang pikiran pembaca' atau pemasang iklan, baik ia anggota masyarakat biasa maupun pejabat pemerrintah.
Wartawan tidaklah sebebas kiai atau dalang atau perorangan lainnya yang pekeerjaannya merupakan ekgiatan komunikasi. Wartawan disebut komunikator terlembagakan (institusionalzed communicator) yang 'dibelenggu' oleh berbagai restriksi sehingga ruang geraknya terbatasi. Ia 'dibelengggu' oleh Kode Etik Jurnalistik, UU Pers, KUHP, policy surat kabar yang memberi upah kepadanya, dll, sehingga apabila ia melakukan kegiatan jurnalistiknya --apakah itu mengelola berita, membaut tajuk rencana, membikin pojok, atau menyusun reportase-- restriksi-restriksi tersebut tidak bisa tidak harus diperhitungkan.
Tidak kurang kompleksnya adalah komponen ketiga yakni pesan ayng disiarkan pers, disebabkan harus mengandung nilai yang harus mebangkitkan perhatian dan memenuhi kepentingan khalayak pembaca. salah pilih dalam mengambil pesan atau salah sunting dalam menyiarkan pesan itu terancam, yang bisa berarti punahnya sumber hidup wartawan dan karyawan.
Komponen keempat ialah sasaran yang dalam 'bahasa komunikasi'dinamakan komunikan, yakni khalayak pembaca. para pembaca bukan saja terdiri dari anggota masyarakat, melainkan juga pemerintah. Kompleksnya pembaca yang terdiri dari anggota masyarakat ialah keanekaragaman dalam hal kepentingan, cita-cita, keseenangan, status sosial, taraf pendidikan, tingkat kebudayaan, agama, norma hidup, sikap hidup, umur dan lain-lain. Kompleksnya pembaca yang terdiri dari orang-orang pemerintah ialah terlalu pekanya terhadap kritik dan kontrol, sehingga bisa menimbulkan perbedaan interpretasi. Di negara yang kebebasan persnya tidak terjamin, biasanya pers mengalah kepada interpretasi pihak penguasa. Kekecualian ialah pers yang mempunyai kepribadian, yang bersikap lebih baik 'mati' dengan menanggung segala resikonya daripada ingkar dari prinsip yang dianutnya. ***001722***

Tidak ada komentar: